Kaliori – Ketika orang punya keinginan dan berjanji (nadzar), ternyata berhasil, mereka sering datang ke tempat ini untuk menggelar syukuran. Sebuah tradisi turun temurun yang masih bertahan. Lokasi tersebut dianggap memiliki sejarah panjang dalam penyebaran agama Islam di Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Sejumlah keunikan dan kisah menarik, turut menyertai. Seperti apa, Jelajah Islam akan menelusuri jejak-jejaknya.
Saya kali ini menginjakkan kaki di Desa Dresi Wetan, Kecamatan Kaliori. Di Desa Dresi Wetan ada sebuah Masjid cukup megah bernama Al Mimbar, sedangkan persis di belakang Masjid terdapat makam Syekh Mimbar Asrori, yang dipercaya merupakan tokoh penyebar agama Islam di wilayah Kecamatan Kaliori.
Asal-usul Mimbar Asrori diriwayatkan adalah seorang alim, bagian dari pasukan Kerajaan Mataram Islam yang berperan mensyi’arkan agama Islam. Menurut catatan sejarah, Kerajaan Mataram Islam berdiri pada abad ke 15 dan terpecah pertengahan abad 17 menjadi Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Mimbar Asrori mengembara, hingga akhirnya tiba di Desa Dresi Wetan, sampai akhir hayatnya.
Semula Mbah Mimbar secara turun temurun menjadi bahan pembicaraan di kalangan masyarakat setempat. Namun sebelum tahun 1980 an, belum diketahui keberadaan posisi makamnya.
Ketua Ta’mir Masjid Al-Mimbar Desa Dresi Wetan, Muhammad Hari menceritakan pihaknya sempat menemui ulama di Desa Kemadu, Kecamatan Sulang, Kiai Syahid Alm, untuk menanyakan tentang makam Mbah Mimbar. Namun Mbah Syahid menyarankan menemui Habib Luthfi di Pekalongan. Singkat cerita, Habib Luthfi menyampaikan bahwa makam Mbah Mimbar terletak pada jarak 1 Meter ke barat dan 1 Meter ke utara, dari tempat Imam Masjid, dulu sebelum direhab. Nama Mimbar Asrori juga diketahui lewat Habib Luthfi.
Petunjuk tersebut diperkuat oleh penjelasan Mbah Wondo Alm., dari Desa Padaran, Rembang, sosok santri yang dikenal mempunyai pengalaman mampu menguak makam-makam kuno. Mbah Wondo datang sendiri ke Desa Dresi Wetan, guna memberikan batas-batas di mana pusara makam Mbah Mimbar.
“Habib Luthfi sebenarnya mau datang ke sini, tapi nggak jadi. Namun sudah dikasih ancer-ancer titik makamnya. Lalu saya menemui Mbah Wondo di Desa Padaran, Rembang. Mbah Wondo pula yang datang ke sini, nggarisi posisi makam dan disaksikan banyak orang waktu itu, “ terangnya.
Kali pertama makam hanya dikelilingi pagar bambu. Atas saran Habib Luthfi, haul Mbah Mimbar Asrori berlangsung tiap tanggal 03 Rabiulawal. Seiring berjalannya waktu, makam ditata lebih bagus seperti sekarang, berhimpitan dengan Masjid Al-Mimbar.
Muhammad Hari mengisahkan bangunan Masjid asli peninggalan tahun 1800 an sudah dibongkar. Alasannya, bahan bangunan yang terbuat dari kayu kondisinya rapuh. Tapi separuh tembok sisi barat menjadi sisa-sisa peninggalan, dengan ciri tembok berukuran sangat tebal. Selain itu, peninggalan tempo dulu berupa kayu berhuruf Arab Pegon di atas pintu utama Masjid, mimbar tempat khutbah, bedug dan mustoqo masih ada barangnya.
Mimbar misalnya. Saat masa penjajahan Belanda, mimbar tersebut pernah dipindahkan ke Masjid Kaliori, sebagai ibu kota kecamatan. Menurut cerita warga setempat, konon ketika diangkat beramai-ramai, tidak kuat mengangkat. Barulah setelah warga Desa Dresi Wetan turun tangan, akhirnya mimbar bisa diletakkan di Masjid Kaliori.
“Dulu di sini kan Masjid sudah ada dulu, ketimbang Masjid Kaliori. Lha suatu ketika Mimbarnya diminta untuk dibawa ke Kaliori. Kata orang tua, saat mau diangkut ke sana, mereka yang ngambil nggak kuat ngangkat. Setelah dibantu orang sini, baru bisa dipindahkan, “ tuturnya.
Lama berada di Masjid Kaliori, ia pada tahun 1983 didatangi saudaranya dari Desa Dresi Kulon, menyarankan bagaimana kalau mimbar itu ditarik lagi ke Masjid Desa Dresi Wetan. Saat ditelusuri ke Masjid Kaliori, kebetulan mimbar sudah tidak dipakai dan tergeletak di dalam bangunan sebelah selatan Masjid.
Seperti gayung bersambut. Atas persetujuan masyarakat dan Ta’mir Masjid Kaliori, Muhammad Hari lantas menemui Kiai Abdul Wahab, pengasuh Pondok Pesantren Al-Irsyad Kauman, Rembang, untuk meminta saran petunjuk. Kiai Wahab tak langsung menjawab, tetapi ingin sholat istikharah terlebih dahulu. Selang beberapa hari ditemui lagi, Kiai Wahab menyampaikan mimbar bisa dibawa kembali menuju Masjid Desa Dresi Wetan.
“Mbah Wahab dawuh mau istikharah dulu, karena bisa saja yang menguasai nggak lilo. Tapi niatnya baik, barang yang sudah nggak kepakai, mau dimanfaatkan. Selain istikharah, beliau juga konsultasi dengan Kiai Syahid di Desa Kemadu, kan tunggal guru niku. Saat saya silaturahmi lagi, Mbah Wahab menyampaikan mimbar bisa diambil, “ tandasnya.
Pengangkutan mimbar khutbah dihadiri langsung dua ulama kharismatik Kabupaten Rembang, Kiai Abdul Wahab dan Kiai Syahid Alm. Keduanya memimpin do’a, sebelum mimbar dinaikkan ke atas kendaraan bak terbuka.
Begitu sampai Desa Dresi Wetan, masyarakat sudah ramai menyambut, memenuhi jalan-jalan kampung, karena penasaran ingin melihat barang antik bersejarah. Lantaran kondisi mimbar sebagian sudah rusak, potongan-potongan kayu motif berukir, kemudian ditata hingga bisa digunakan sampai sekarang.
“Ngambilnya dari Masjid Kaliori ke sini kira-kira tahun 1983, wong saya masih ingat baru selesai kuliah. Yang diganti hanya papan bawah, kita belikan baru. Selebihnya masih asli. Kalau orang-orang yang paham, begitu menyentuh mimbar itu, biasanya bilang punya power luar biasa, “ ungkap Muhammad.
Selain mimbar, mustoqo Masjid juga tidak kalah aneh sejarahnya. Mustoqo yang terbuat dari kayu itu, mendadak hilang dari atas Masjid dan ditemukan di Makam Dusun Paloh, Desa Tasikharjo, Kecamatan Kaliori. Mustoqo diambil lagi, tapi tidak dipakai. Mustoqo disimpan di atas langit-langit Masjid.
“Ternyata mustoqonya itu nancep di makam Paloh, nggak ada yang tahu bagaimana ceritanya. Ada orang pernah ngarit nyari rumput, sabitnya ditatapke mustoqo itu. Pulang sampai rumah, orangnya sakit kok. Meski mustoqo nggak dipakai, tapi benda bersejarah tersebut masih kami simpan, “ bebernya.
Keunikan lain, lokasi Makam Syekh Mimbar Asrori di belakang Masjid Al-Mimbar sering didatangi peziarah yang menggelar syukuran. Mereka beralasan ketika hajatnya qabul, menunaikan nadzar di Makam Syekh Mimbar Asrori. Sejak zaman ia masih kecil sudah ada seperti itu dan terus bertahan sampai saat ini. Menurutnya, lebih sebagai tradisi. Sedangkan soal keyakinan, semua datangnya tetap dari Allah SWT.
“Misalnya sempat lama sakit dan sembuh atau anak lulus ujian, kebetulan gangsar rezekinya, bawa ayam ingkung ke situ. Yang berkaitan dengan nadzar pokoknya, jadi sering sekali. Nggak orang sini saja, orang luar kampung juga banyak. Terutama tiap malam Jum’at, “ pungkas Hari. (Musyafa Musa).