Rembang – Maraknya penjualan tembakau kepada pihak selain perusahaan mitra di Kabupaten Rembang tahun ini, dikhawatirkan akan berdampak pada penurunan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) untuk Kabupaten Rembang.
Marjuki, seorang tokoh petani tembakau di Desa Tlogotunggal Kecamatan Sumber mengaku prihatin masih adanya petani yang bermitra dengan PT Sadana Arif Nusa, justru menjual tembakau kepada pihak lain, karena tergiur dengan harga yang lebih tinggi.
“Dulu kita mengenal tembakau awalnya kemitraan dengan Sadana, kita harus memikirkan yang dulu-dulu, siapa yang mengajari kita nanam tembakau. Apalagi kita sudah menandatangani kontrak kemitraan,” ujarnya.
Marjuki menambahkan saat berkoordinasi dengan PT Sadana Arif Nusa, ternyata jumlah tembakau hasil panen yang sudah diterima, tidak sebanyak dari prediksi awal. Kalau kondisi semacam ini berlarut-larut, tentu akan mengganggu hubungan kemitraan.
“Kuota tembakau dari Rembang tidak tercukupi. Kalau melihat tanaman di Rembang, semula Sadana optimis kuota akan tercukupi. Tapi ternyata saat saya tanya dengan pihak Sadana beberapa waktu lalu, belum dapat 50 %. Tolonglah yang kemitraan, tembakaunya jangan dijual ke pihak luar,” kata Marjuki.
Selain itu, DBHCHT untuk Kabupaten Rembang juga akan menurun, karena kalau tembakau masuk ke perusahaan mitra akan tercatat. Berbeda dengan dijual ke pihak lain, tidak akan berpengaruh terhadap dana bagi hasil.
“Maka peran dari pemerintah kabupaten juga sangat dibutuhkan,” tandasnya.
Sementara itu Kepala Dinas Pertanian Dan Pangan Kabupaten Rembang, Agus Iwan Haswanto menyatakan pihaknya sudah duduk bersama dengan PT Sadana Arif Nusa maupun Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI).
Mereka sepakat mengambil langkah-langkah penanganan sesuai kewenangan masing-masing. APTI mendorong petani menjaga komitmen, tetapi di sisi lain pihak Sadana harus menetapkan harga yang layak, sesuai perkembangan saat ini.
Instansinya juga mengerahkan para petugas penyuluh lapangan (PPL), ikut mengimbau petani yang menjadi mitra Sadana mematuhi kesepakatan kemitraan. Sedangkan Sadana memberikan ancaman sanksi bagi petani yang melanggar, dengan tidak memberikan kuota penanaman pada musim tanam berikutnya.
“Keberlanjutan kemitraan itu penting agar ada kepastian pasar di kemudian hari. Ada potensi sanksi yang sengaja melanggar kemitraan tersebut. Kami menjaga para pihak ini, semoga kemitraan bisa langgeng,” urai Agus.
Agus berharap PT Sadana tidak sampai hengkang dari Kabupaten Rembang.
“Sejauh ini tidak, kami berharap Sadana mau bermitra dengan petani di Rembang,” pungkasnya.
Menurut penelusuran kami, harga tembakau yang dijual ke pihak luar, bisa laku kisaran harga Rp 55 – 60 Ribu per Kg, sedangkan di Sadana grade terbagus mendekati angka Rp 50 Ribu per Kg.
Keterpautan harga itu memicu adanya petani diam-diam menjual hasil panenan mereka kepada pengepul keliling. (Musyafa Musa).