

Rembang – Awalnya bonggol atau janggel jagung dianggap sebagai sampah yang terbuang percuma. Namun kemudian disulap menjadi berbagai macam produk kerajinan yang memiliki nilai jual. Lebih menarik lagi, manakala tokoh pemrakarsanya merupakan seorang wanita penyandang disabilitas.
Yah..begitulah sekilas kisah Saras Ningrum (38 tahun), warga Desa sendangmulyo, Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang mengawali pemberdayaan janggel jagung untuk barang kerajinan, seperti bross, once, aneka souvenir, wadah tisue, tempat lampu dan masih banyak lagi yang lain. Sepanjang hari Selasa (27 Agustus 2019), hasil karya warga Desa Sendangmulyo tersebut, dipamerkan dalam kegiatan Bursa Inovasi Desa di lapangan depan Gedung Haji Rembang.
Saras Ningrum mengakui kala itu tiap kali panen jagung, janggel bekas pipilan banyak berserakan di pinggir jalan kampung. Kalau pun ada yang memakai, sebatas untuk bahan bakar memasak. Kebetulan di desanya sempat berlangsung pendampingan program pemberdayaan. Setelah melalui proses pembahasan, muncullah ide mengoptimalkan keberadaan janggel jagung tersebut.
“Jujur saja saya prihatin, melihat banyak sekali janggel jagung nggak terpakai. Nah, saat ada pendampingan, keluar ide gimana kalau buat kerajinan berbahan janggel. Dari sampah, kini menjadi bernilai, “ tutur Saras.
Saras membenarkan ada sejumlah kendala. Diantaranya pengetahuan sumber daya manusia (SDM) yang memproduksi masih terbatas, sehingga kedepan perlu tambahan pelatihan. Kendala berikutnya terkait pemasaran. Barang yang dibuat, lakunya relatif lama. Andai ada pengepul mau cepat membayar tunai, kemungkinan pengrajin akan semakin bersemangat.
“Kan barang ini menjadi uangnya lama. Untuk mendorong warga lebih berkreasi, jujur saja kami masih terkendala. Semua serba apa adanya, kita masih sangat perlu bimbingan dan pendampingan, “ imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Tim Pelaksana Inovasi Desa (TPID) Kecamatan Bulu, Tri Suwanti menganggap kendala merupakan ujian, agar kedepan bisa lebih maju. Setelah kreasi janggel jagung beberapa kali mengikuti pameran, kebetulan ada tawaran untuk mengimpor barang ke Thailand. Tantangan ini perlu dijawab dengan kualitas produk dan harga yang sesuai pasar.
“Yang pernak-pernik bross dan souvenir pernikahan dijual Rp 25 ribu, kemudian tempat tisu Rp 125 ribu dan tempat sampah besar bisa sampai harga Rp 600 ribu. Meski lambat, tapi sudah luar biasa lho ini. Kita harapkan produk yang dihasilkan bener-bener bagus, “ kata Tri.
Tri menambahkan upaya promosi produk jangan berhenti sampai di sini. Namun perlu terus menerus, termasuk melalui penggarapan media sosial. Targetnya, ketika pangsa pasar kerajinan bonggol atau janggel jagung kian meluas, sekaligus bisa meningkatkan kesejahteraan warga. (Musyafa Musa).