Pesona Putri Campa, Orang Perancis pun Datang
Makam Putri Campa di dekat Pasujudan Sunan Bonang, Lasem.
Makam Putri Campa di dekat Pasujudan Sunan Bonang, Lasem.

Lasem – Putri Campa atau orang Jawa lebih mudah menyebutnya Putri Cempo, merupakan tokoh penyebar agama Islam di daerah Bonang, Kecamatan Lasem, selain Sunan  Bonang. Lalu siapa sebenarnya sosok Putri Campa ini, yang temuan jenazahnya pernah mengejutkan masyarakat setempat ? Berikut penelusuran Jelajah Islam.

Makam Putri Campa terletak di atas perbukitan, sebelah timur Desa Bonang. Lokasinya berada di pinggir jalur Pantura Semarang – Surabaya. Namun karena di atas bukit, pengunjung mesti berjalan kaki melintasi tangga beton berundak-undak sepanjang 150 an Meter.

Ada sejumlah riwayat yang mengisahkan siapa Putri Campa. Sebagian kalangan menyebutkan Putri Campa merupakan murid Sunan Bonang, dengan nama asli Bie Nang Tie. Ia berasal dari Champa, dahulu bagian negara Kambodja, namun sekarang masuk wilayah Vietnam. Bie Nang Tie, putri seorang laksamana laut dari negeri Champa, mendarat di Teluk Regol Bonang.

Adanya hubungan baik antara laksamana laut dengan Adipati Lasem kala itu, Pangeran Badranala, singkat cerita akhirnya Bie Nang Tie menjadi isteri sang adipati. Namanya berubah menjadi Winarti Kumudawardhani. Kemudian Winarti memilih menjadi bikhuni, menetap di daerah Lasem bagian selatan. Ketika meninggal dunia pada usia 56 tahun, abunya dikubur di puncak bukit Bonang dan diberi nisan layaknya orang Islam. Oleh para keturunannya, tempat penguburan abu itu dinamakan Putri Campa.

Namun riwayat lain mengisahkan Putri Campa memiliki nama asli Dewi Kasyifah, yang semasa kecilnya menuntut ilmu sampai negeri Campa. Di Negeri Campa, Kasyifah menjadi anak angkat seorang warga Tionghoa, kemudian berganti nama Dewi Indrawati. Oleh orang China tersebut, Dewi Indrawati dihadiahkan kepada Raja Majapahit, Prabu Brawijaya, dengan syarat bangsa China tetap diperbolehkan tinggal di tanah Jawa dan dijaga keselamatannya. Karena Prabu Brawijaya sangat tertarik dengan kecantikan Indrawati, syarat tersebut langsung dipenuhi.

Dari hasil perkawinan Prabu Brawijaya dengan Dewi Indrawati, lahirlah Raden Patah yang nantinya sebagai sultan Kerajaan Demak Bintoro. Raden Patah sendiri ditetapkan menjadi pemimpin Kerajaan Demak Bintoro, oleh para wali pada abad ke-15.

Saat itu Dewi Indrawati menengok puteranya yang berkuasa di Demak. Saat datang di Demak, kebetulan sedang berlangsung musyawarah para wali membahas perkembangan Islam di tanah Jawa. Atas permintaan Sunan Bonang dan persetujuan Raden Patah, Dewi Indrawati diajak ke Bonang, Lasem untuk mengajar dan memimpin muslimat di Bonang. Dewi Indrawati menjadi mubalighah hingga akhir hayatnya. Beliau wafat dan dimakamkan di dekat Pasujudan Sunan Bonang.

Ahmad Munji, sesepuh warga Desa Bonang, Kecamatan Lasem menuturkan masyarakat di kampungnya lebih percaya bahwa Putri Campa adalah Dewi Indrawati, ibunya Raden Patah. Ia membenarkan munculnya cerita turun temurun, bahwa warga Desa Bonang sempat mengalami perbedaan pendapat, apakah Dewi Indrawati beragama Islam atau bukan. Era tahun 1800 an, makam pernah digali dan ternyata jenazah dikubur dengan cara Islam. Lebih kaget lagi, kondisi jenazah masih utuh, padahal sudah ratusan tahun berlalu.

“Lha zaman buyute saya masih jadi juru kunci di situ, orang-orang kan tidak percaya Putri Campa itu bergama Islam. Umumnya orang China kan bukan beragama Islam. Setelah dimusyawarahkan, warga menggali makamnya. Ya kaget semua, tapi terbukti Putri Campa Islam, setelah melihat kondisi jenazah. Lebih kaget lagi, jenazahnya utuh dan rambutnya diketahui sangat panjang sampai di bawah lutut, “ ujar Ahmad dengan menggunakan bahasa Jawa.

Selama di Bonang, Putri Campa banyak menimba ilmu dari Sunan Bonang, kemudian turut mensyi’arkan agama Islam. Menurutnya, sampai sekarang makam Putri Campa sering didatangi peziarah. Tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Mulai Malaysia, Singapura, bahkan Perancis.

“Mbah Sunan Bonang mempunyai banyak murid, termasuk Putri Campa atau Dewi Indrawati ini. Peziarah yang datang ke makam Putri Campa nggak keitung. Ada yang dari Perancis malah, mereka sudah bawa penerjemah, “ imbuhnya.

Keunikan dari makam Putri Campa, cungkupnya atau bangunan di atas makam, terdapat 4 tiang yang terbuat dari tulang belakang ikan paus. Sedangkan nisan makam tidak asli lagi, karena merupakan tambahan saat makam dipugar tahun 1918.

Pihak Yayasan Sunan Bonang, memasang sejumlah tulisan di sekitar makam Putri Campa, agar peziarah selalu memohon kepada Allah SWT. Jangan sampai keberadaan makam maupun pasujudan, justru mengarah pada kekufuran.

“Niatnya ke sini kalau berdo’a ya meminta kepada Allah. Jangan meminta sama Putri Campa atau Mbah Sunan Bonang. Kita pasangi tulisan itu di berbagai titik, supaya peziarah tidak terjerumus pada sikap kufur, “ pungkasnya dengan bahasa Jawa khas Rembangan. (Musyafa Musa).

News Reporter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *