Rembang – Bupati Rembang, Abdul Hafidz berencana menyerahkan posisi Ketua Umum PSIR kepada orang lain, bisa saja dari kalangan swasta.
Hafidz tak ingin dengan posisinya sebagai kepala daerah, selalu dianggap bisa berbuat lebih untuk PSIR. Padahal ia sendiri merasakan betapa beratnya menghidupi tim sepak bola profesional, selama Laskar Dampo Awang mengarungi kompetisi Liga 2. Kini PSIR terdegradasi ke Liga 3, dirinya kembali berharap kursi ketua umum diisi oleh figur lain.
“Besok kalau Liga 3, Ketua Umum PSIR saya serahkan sama orang swasta saja. Biar nggak ada keinginan kalau ketua umumnya Bupati itu bisa berbuat apa – apa. Padahal kayak gini kondisinya, “ kata Hafidz.
Meski berniat melepas Ketua Umum, namun Hafidz tetap berkomitmen mengangkat PSIR, dari Liga 3 bisa promosi lagi menuju Liga 2. Bupati mengakui masalah keterbatasan dana menjadi kendala besar. Pihaknya menaikkan tarif tiket penonton dari Rp 15 ribu menjadi Rp 25 ribu saja, kondisi Stadion Krida tiap berlangsung pertandingan sepi. Penghasilan tiket penonton, tak bisa diandalkan. Bahkan seluruh kepala desa hingga kepala dinas/instansi diminta ikut membantu, kemudian menggalang dana dari sponsor, paling tinggi hanya terkumpul Rp 1,5 Miliar. Sedangkan operasional tim jauh melebihi pendapatan.
“Kalau tiket penonton, tentu nggak bisa diharapkan, apalagi jika stadion sepi. Sponsor dari BUMN minim, karena ada larangan nggak boleh membantu tim profesional. Begitu juga keuangan daerah, dilarang membiayai. Kemarin pas Liga 2 kita masih belajar mengelola tim profesional. Muda – mudahan saat Liga 3 nanti, kita dorong terus, PSIR bisa kembali ke Liga 2, “ imbuhnya.
Disinggung buruknya prestasi olahraga Kabupaten Rembang secara umum di luar PSIR, Hafidz menyadari masalah tersebut. Paling baru prestasi Kabupaten Rembang di event Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Jawa Tengah jeblok dan menduduki posisi 34 dari 35 Kabupaten/Kota. Salah satu penyebabnya, kontingen Kabupaten Rembang masih “lugu”, karena diisi oleh warga asli Kabupaten Rembang sendiri. Tapi daerah – daerah lain banyak yang sudah merekrut atlet luar daerah, program latihan mereka dibiayai setahun atau 2 tahun sebelumnya.
“Waktu Porprov ada cabang olahraga yang sebenarnya bisa mendulang 2 atau 3 medali emas. Tapi karena ada atlet cidera, akhirnya gagal. Kalau itu bisa tanding, mungkin posisi kita menempati 30. Lha daerah lain itu, sudah nyuri atlet luar, kemudian mereka fokus, cabang olahraga mana yang ingin dibidik. Apakah cara seperti ini harus dijalankan, ya konsekuensinya butuh biaya banyak memang, “ bebernya.
Hafidz ingin pembinaan cabang olahraga lebih dioptimalkan. Meski diperkuat anak daerah sendiri, hal itu tetap menjadi solusi terbaik. (Musyafa Musa).