Lasem – Salah satu Masjid tertua di Kabupaten Rembang adalah Masjid Jami’ Lasem yang dibangun perkiraan pada tahun 1588 Masehi, ketika masa kepemimpinan Adipati Tejakusuma I atau Mbah Srimpet. Bagaimana keberadaan Masjid tersebut dalam syiar agama Islam dari masa ke masa, ikuti perjalanan kami dalam Jelajah Islam.
Kapan pertama kali berdirinya Masjid Jami’ Lasem, sempat muncul dua pendapat berbeda. Ada yang menyebut sejak abad ke-XIII atau lebih dulu dari Masjid Demak, tapi sebagian kalangan menyampaikan dibangun abad ke-XV.
Ketua Ta’mir Masjid Jami’ Lasem, Abdul Mu’id mengisahkan dulu sempat terjadi banyak pertentangan dari sejumlah tokoh ulama, ketika Masjid akan direnovasi. Tapi karena sudah menjadi kebutuhan, akhirnya tetap dipugar, dengan mempertahankan bagian konstruksi yang asli. Termasuk 4 tiang penyangga utama Masjid.
Selain tiang, ada pula beberapa peninggalan asli, yakni bagian dalam tembok Masjid, mimbar untuk khutbah, kayu dodopeksi bagian atas bertuliskan aksara Jawa kuno yang belum terungkap artinya dan mustoqo. Khusus mustoqo Masjid sudah diganti baru, sedangkan mustoqo asli saat ini tersimpan di dekat ruang perpustakaan Masjid Jami’ Lasem. Seiring bergulirnya waktu, pemugaran demi pemugaran, umat di Lasem bisa menerima keputusan tersebut.
“Dalam hal mengelola waqaf, pernah ramai penolakan ketika Masjid akan dipugar. Memang kita tinggikan bangunan dan diperkuat, untuk bangunan asli tetap dipertahankan. Insyaallah sekarang Masjid semakin bermanfaat untuk umat, “ ungkapnya.
Pria warga Desa Karangturi, Kecamatan Lasem ini menambahkan belakangan ini para peziarah yang singgah ke Masjid Jami’ Lasem semakin banyak. Perlu penataan tempat, sekaligus memberikan kenyamanan bagi mereka yang mayoritas berasal dari luar daerah.
“Pembangunan sambung menyambung terus. Kita siapkan tempat istirahat bagi peziarah di sebelah selatan Masjid. Kamar mandi dan tempat wudhlu diperbanyak. Kita juga sedang membangun pendopo Tejokusuman di belakang Masjid, “ beber Mu’id.
Saat bulan suci Ramadhan seperti sekarang, geliat aktivitas di Masjid Jami’ Lasem kian padat. Mulai menjelang waktu Subuh, kemudian seusai Ashar, pembagian ta’jil berbuka puasa, hingga Ba’da sholat tarawih. Pengajian diisi oleh ulama-ulama Lasem secara bergantian. Pihaknya ingin syi’ar agama Islam semakin berkumandang selama Ramadhan.
“Kalau ta’jil berbuka puasa, jelas ada di sini. Yang pengajian pagi itu selesai sampai jam setengah 8 pagi biasanya. Kami akui syiar Islam ini mungkin terasa kurang, karena dampak penataan Masjid. Makanya bulan suci Ramadhan semoga menjadi momentum untuk menggiatkan lagi, “ tuturnya.
Abdul Mu’id menambahkan kultur umat dari berbagai faham dan aliran, berbaur menjadi satu di Masjid Jami’ Lasem. Meski terkadang muncul pro kontra, tapi tidak sampai memecah belah umat.
Misalnya ketika Sholat Jum’at. Ada khotib yang berkhutbah menggunakan Bahasa Arab secara keseluruhan, disisi lain banyak pula yang memakai Bahasa Indonesia. Perbedaan pendapat muncul, namun muara tujuan akhirnya tetap saling menghargai pendapat masing-masing.
“Ulama-ulama sepuh kalau khutbah ya apa yang tertera di dalam kitab, seperti khutbahnya Kanjeng Nabi. Sedangkan kebijakan ulama sekarang pakai Bahasa Indonesia, dengan alasan khutbah kalau umat nggak paham artinya gimana. Yang keukeuh pakai Bahasa Arab masih, yang pakai Bahasa Indonesia semakin banyak. Nggak masalah kok, “ tandasnya.
Mu’id menilai zaman boleh berubah, Masjid Jami’ Lasem mesti mampu menjadi simbol pemersatu umat. Kalau hal itu tetap terjaga, tidak hanya menjalankan perintah agama dalam bingkai semangat Ukhuwah Islamiyah, di sisi lain juga menghargai perjuangan Adipati Tejakusuma I bersama Mbah Sambu, saat dulu mendirikan Masjid tersebut.
“Di sini ada temen-temen Muhammadiyah, kaum Nadhliyin juga banyak. Biar rukun piye carane gitu. Podho-podho wong muslime, podho-podho umate, ayo bersatu, “ pungkasnya. (Musyafa Musa).