

Sluke – Perjalanan Jelajah Islam sampai ke Desa Langgar, sebuah desa di perbukitan wilayah Kecamatan Sluke. Di kampung ini, terdapat makam yang dipercaya sebagai tokoh penyebar agama Islam, bernama Syech Abdul Jalil atau lebih akrab dengan sebutan Sunan Langgar. Lalu siapa Sunan Langgar, menurut kisah sejarah yang berkembang di tengah penduduk setempat ?
Posisi makam Sunan Langgar berada di dataran tinggi. Pusara makam berdampingan dengan isterinya, Siti Sulastri. Lingkungan sekitar makam sudah ditata, bahkan kondisinya sangat bagus, dengan arsitek pagar menggunakan khas batu bata kuno mengelilingi makam, sedangkan di dalam makam didominasi bangunan berbahan kayu. Ukurannya diperkirakan 60 x 30 Meter. Penataan makam tersebut menelan anggaran Rp 1 Miliar lebih, hasil dari swadaya masyarakat maupun para donatur.
Juru Kunci Makam Sunan Langgar, Ruslan bercerita ada sejumlah versi yang mengisahkan asal usul Sunan Langgar. Versi pertama, beliau merupakan bagian dari tokoh semasa Wali 9, tetapi tidak mau disebutkan jati diri maupun sejarah perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam. Versi lain ada pula yang menyebutkan Sunan Langgar adalah murid Sunan Bonang, kemudian menyebarkan agama Islam di daerah Langgar dan sekitarnya. Wallahualam.
Tapi yang jelas makam tersebut sudah ada sejak zaman dulu, diriwayatkan turun temurun. Tak ada catatan, kapan wafatnya Sunan Langgar. Keaslian yang masih bertahan sampai sekarang yakni ada 4 buah pohon sawo mengitari makam.
“Jujur saja kita mau melacak, sulit. Jauh sebelum zaman londo (Belanda-Red), makam ini sudah ada, cerita dari buyut-buyut saya. Yang dipercaya di sini, beliau merupakan bagian sejarah penyebaran agama Islam pada masa Wali Songo, tapi mbah Sunan Langgar ini nggak mau disejarahkan, “ bebernya.
Selain makam, ada satu situs lain yang menjadi peninggalan Sunan Langgar. Lokasinya 300 an Meter, sebelah barat makam. Bentuknya berupa batu besar kotak, cukup kalau digunakan tiduran 5 orang dewasa. Batu tersebut dulunya dikisahkan sebagai tempat semedi atau berkhalwat Sunan Langgar.
“Ada pasujudan bentuknya batu leper persagi, kangge sare tiyang 5 cekap niku. Coro jowone kangge madep marang gusti, ben mboten keganggu. Tempatnya tenang sekali memang. Deket sungai mas, “ imbuh Ruslan.
Di Desa Langgar sendiri, hingga saat ini muncul kebiasaan yang berbeda dibandingkan desa-desa pada umumnya. Masyarakat Desa Langgar menghilangkan tradisi sedekah bumi, dengan pementasan hiburan wayang, kethoprak, seni tayub atau sejenisnya.
Berawal kala itu warga pernah menggelar pentas wayang kulit di pinggir jalan raya, dekat pintu masuk menuju makam Sunan Langgar. Di tengah cuaca panas, tiba-tiba turun hujan disertai angin kencang, sampai akhirnya wayang kulit batal pentas. Sejak itu, warga memilih menggabungkan momentum sedekah bumi dengan haul Sunan Langgar, dan hanya diisi pengajian.
“Ya kan cerita turun temurun mas, waktu itu udan sedino nggak rampung-rampung, wayangnya nggak manggung. Jadi sampai sekarang nggak nanggap nopo-nopo. Malah sedekah buminya dijadikan satu dengan haul. Harinya Jum’at pahing sasi selo atau apit, “ beber Ruslan.
Selama haul, banyak peziarah datang dari berbagai daerah. Menurutnya, paling sering peziarah dari wilayah Jawa Timur. Mereka bisa pula menginap di tempat yang telah disediakan, tepatnya di depan makam Sunan Langgar. (Musyafa Musa).