Kecanduan Main HP Anak Usia 2 – 5 Tahun, Dampaknya Mencemaskan!! Lakukan Ini, Jangan Sampai Ortu Menyesal
Dokter Rahmatika, Sp.KFR hadir dalam talk show Bintang Sehat di Radio R2B Rembang. (Foto atas) Ilustrasi anak bermain HP.
Dokter Rahmatika, Sp.KFR hadir dalam talk show Bintang Sehat di Radio R2B Rembang. (Foto atas) Ilustrasi anak bermain HP.

Rembang – Fenomena anak kecanduan main HP gadget (gawai), semakin mengkhawatirkan belakangan ini.

Orang tua yang mempunyai putera-puteri, terutama usia antara 2 – 5 tahun diminta lebih memperketat, karena pada rentang usia tersebut merupakan masa pertumbuhan otak.

Dokter Spesialis Kedokteran Fisik Dan Rehabilitasi RSUD dr. R. Soetrasno Rembang, dr. Rahmatika, Sp.KFR menyampaikan masalah tersebut, dalam talk show Bintang Sehat yang dipandu Reporter Musyafa Musa di Radio R2B Rembang, Kamis malam (23/06).

Dokter Tika, demikian sapaan akrabnya menyatakan anak di bawah usia 2 tahun boleh-boleh saja sesekali dikenalkan dengan HP, namun tetap dalam pengawasan.

“Misal video call dengan ayahnya atau melihat tontonan apa gitu yang edukatif dan tidak mengandung unsur kekerasan. Sifatnya pengenalan media digital, “ tuturnya.

Sedangkan anak usia 2 – 5 tahun, penggunaan HP gadget tidak boleh lebih dari 1 jam setiap hari. Ia mengungkapkan alasan bahwa otak anak berkembang pesat sejak di dalam perut ibu. Saat usia 2 tahun, 80 % volume otak sudah sama seperti orang dewasa dan ketika berusia 5 tahun, volume otak hampir 90 % otak orang dewasa.

“Jadi kita harus tahu, ini menjadi masa-masa penting perkembangan otak anak, “ ungkap Dokter Tika.

Lalu apa resikonya ketika anak usia 2 – 5 tahun terbiasa main HP gadget dengan intensitas tidak terkontrol ?

Dokter asli Surabaya, Jawa Timur yang tinggal di Desa Mondoteko Rembang ini membeberkan efeknya hormon dopamin akan meningkat, sehingga anak cenderung semakin kecanduan. Saat tanpa gadget, merasa bingung dan gelisah.

Bahkan ketika akan tidur saja masih bermain HP, memicu gangguan kualitas tidur. Begitu kualitas tidur menurun, dampaknya menurunkan hormon serotonin (hormon yang bertugas membawa pesan antar sel dalam otak-Red), yang berujung pada anak akan mudah cemas, sedih dan mudah stres.

Kombinasi antara peningkatan dopamin dan turunnya serotonin, rentan mengganggu sel syaraf.

Ia mencontohkan gangguan syaraf mata, belakangan ini dibuktikan semakin banyak anak-anak kecil sudah memakai kaca mata. Kemudian anak yang kecanduan main HP menjadi tidak aktif, karena sering hanya pada posisi duduk atau berbaring. Akibatnya, tidak terpapar sinar matahari dan kekurangan vitamin D.

“Dengan segala akibatnya, tulang menjadi tidak terlalu padat. Beda dengan anak-anak yang sering main ke sawah pada siang bolong. Kelamaan main HP di dalam rumah, membuat anak-anak beresiko gemuk, karena kurang aktivitas fisik, “ terangnya.

Manakala sel syaraf rusak, ujung-ujungnya mengarah ke gangguan kemampuan kognitif (kemampuan untuk mempelajari berbagai hal-Red), yang akhirnya anak menjadi agresif, tidak sabar, cenderung emosional dan kemampuan bahasanya terganggu.

Dokter Tika mengakui akan lebih baik jika anak usia 2 – 5 tahun steril dari penggunaan HP gadget.

Namun apabila sudah terlanjur, ia berbagi cara untuk mengurangi ketergantungan.

Pertama, seisi rumah harus konsisten terhadap kebijakan anak menggunakan HP.

“Setting terapi harus sama, harus satu kata. Ketika anaknya mau berhenti main HP, orang tua sudah sepakat, yang lain jangan ngasih HP. Kalau nggak dikasih nanti nangis, terus dikasih, ya jangan. Jadi ciptakan iklim situasi sama, “ tandasnya.

Kedua, ajaklah anak bermain keluar rumah yang sesuai minatnya dan ajak anak berkomunikasi.

“Jangan di rumah terus, ajak anak-anak jalan-jalan kemana gitu, bermain. Kalau anak seneng, itu bisa menjadi pintu masuk. Sambil bermain, ajak ngomong. Mungkin anak belum bisa membalas, tapi ia sudah bisa mendengar dan ditangkap memori otaknya. Jangan bosan mengajak anak bicara, “ kata Dokter Tika.

Makanya kenapa saat anak akan tidur, kalau bisa dibacakan dulu buku cerita dongeng. Hal itu sebagai cara untuk menstimulasi otak anak. Kemudian menggunakan media seperti puzzle, kartu maupun tontonan di TV yang edukatif dan berinteraksi dengan anak.

“Puzzle bisa untuk terapi, ayo bilang gajahnya mana. Mungkin anak hanya bilang belakangnya saja Jah, tapi ini bagian dari proses. Hal itu bisa dipakai orang tua untuk media terapi di rumah, biar anak tidak mengalami keterlambatan berbahasa, “ bebernya.

Selain itu, orang tua diminta memperhatikan betul buku kesehatan ibu dan anak (KIA). Manakala mengetahui keterlambatan, sesegera mungkin memeriksakan anak ke dokter.

“Semakin cepat, tentu akan semakin baik, “ pungkas Dokter Tika. (Musyafa Musa).

News Reporter

Tinggalkan Balasan