

Lasem – Beragam nama untuk menjuluki Lasem. Mulai Lasem Kota Pusaka, Lasem Kota Santri, hingga Lasem Tiongkok Kecil.
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Kabupaten Rembang, Edi Winarno menganggap banyak julukan semacam itu tidak masalah, sepanjang ada penjelasan alasan-alasannya.
“Jadi konsep itu muncul oleh yang memberi nama, nggak masalah sepanjang ada penjelasannya, “ kata Edi.
Ia mencontohkan sebutan Kota Pusaka, setelah Kementerian Pekerjaan Umum Dan Penataan Ruang menjabarkan heritage sites, sebuah penamaan dari Unesco, organisasi PBB yang salah satunya menangani masalah kebudayaan. Tapi menurutnya belum jelas juga apa arti dari Kota Pusaka.
“Pusaka itu apa, orang nggak jelas juga. Orang tahunya pusaka itu keris, apa Lasem banyak kerisnya, kan nggak. Di dalam forum diskusi, penamaan ini menyesuaikan penyelenggara diskusi siapa. Basicnya kan macam-macam. Kalau Bappeda, mungkin pakainya Kota Pusaka, “ imbuhnya.
Edi berpendapat agar lebih netral dan bisa mengakomodir kepentingan beragam kelompok, sebaiknya dikembalikan pada Undang-Undang saja, yakni Lasem Kota Cagar Budaya.
“Kota Pusaka nggak ada di Undang-Undang, yang di Undang-Undang itu ya cagar budaya. Kementerian Pekerjaan Umum pakai Kota Pusaka dalam penataan Lasem. Bisa jadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak memakai sebutan Kota Pusaka, “ paparnya.
Pemerintah bisa menengahi dengan menetapkan sebagai Kota Cagar Budaya, sehingga jangan sampai terjadi polemik soal penamaan Lasem.
“Saya kira Kota Cagar Budaya bisa mewadahi nama-nama lain. Kalau Kota Pesantren, nanti ono sing cemburu. Kalau Tiongkok Kecil, ya akan ada yang cemburu. Kota Cagar Budaya, jelas di Undang-Undang ada, “ tandasnya.
Sebelumnya, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum Dan Penataan Ruang mengalokasikan anggaran sebesar Rp 110 Miliar, untuk menata Lasem.
Sasarannya meliputi lingkungan Masjid Jami’, kemudian Alun-Alun dan kawasan Pecinan. Dijadwalkan hari Jum’at mendatang, berlangsung ground breaking atau peletakan batu pertama. (Musyafa Musa).