Hidup Di Tengah Hutan, “Ibuku, Pahlawanku…”
Rumpi (tengah) bersama anak dan ibunya makan nasi jagung di dalam rumahnya. (Foto atas) Rumah Rumpi paling terpencil.
Rumpi (tengah) bersama anak dan ibunya makan nasi jagung di dalam rumahnya. (Foto atas) Rumah Rumpi paling terpencil.

Bulu – Dusun Ngotoko, Desa Pasedan, Kecamatan Bulu menyandang dusun paling terpencil di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Lokasinya berada di tengah hutan, perbatasan antara Kabupaten Rembang dengan Kabupaten Blora. Di Ngotoko terdapat sekira 60 an rumah.

Untuk menuju ke kampung tersebut, sebagian besar harus melewati jalan terjal berbatu. Sebagian lainnya sudah dibeton, hasil bantuan program Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD). Kanan kiri jalan, diapit hutan lebat, wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Mantingan.

Sampai di kawasan Banyubang – Ngotoko, laju sepeda motor saya terhenti, ketika melihat sebuah rumah berdinding bambu yang posisinya agak jauh dari permukiman penduduk. Rumah ini menyendiri di dataran rendah, berhimpitan dengan lebatnya pohon jati.

Setelah menuruni jalan setapak yang agak curam, saya tiba di rumah, sekaligus menyapa penghuni di dalamnya.

Rumah berlantaikan tanah ini ditempati Rumpi, anaknya Suntari yang baru kelas 1 SMP dan ibunya yang sudah berusia lanjut, Sarikem. Suami Rumpi sudah lama meninggal dunia, sehingga Rumpi harus berjuang sendirian, untuk menyambung hidup sehari-hari.

Wanita berusia 43 tahun tersebut berprofesi sebagai pencari kayu bakar atau rencek di dalam hutan. Setelah kayu terkumpul banyak, kemudian diambil oleh pengepul. 1 truk dihargai Rp 600 ribu. Ia mengaku melakoni pekerjaan berat itu, karena tidak ada pekerjaan lain.

“Ya buat belanja kebutuhan hidup mas uangnya. Ini hari nggak ada pekerjaan, selain cari kayu bakar dan merumput untuk pakan ternak, “ ungkapnya.

Sang anak, Suntari memilih melanjutkan bersekolah di SMP N I Bulu, nantinya sambil mengenyam ilmu agama di Pondok Pesantren Kemadu, Sulang. Maklum, jarak rumah dengan sekolah sangat jauh, sehingga kurang memungkinkan jika harus ditempuh setiap hari.

Kebetulan per hari Senin (16 Agustus 2021), pembelajaran tatap muka belum berjalan efektif, sehingga Suntari masih berada di rumah, sambil membantu pekerjaan ibunya. Mulai bersih-bersih pekarangan, memasak, menemani neneknya hingga merawat ternak.

“Biar beban ibu, agak ringan, “ tuturnya lirih.

Suntari sudah terbiasa berteman sepi dan kesunyian, terutama pada malam hari. Ia bersyukur aliran listrik PLN sudah masuk ke Dusun Ngotoko, sehingga agak leluasa mendengarkan radio, sekedar sebagai sarana hiburan di rumahnya. Suntari ingin kelak bisa sekolah tinggi dan membahagiakan ibundanya. Bagi Suntari, sang ibu adalah pahlawan.

“Saya sekolah sambil mondok, biar dapat juga ilmu agama. Cita-cita saya pengin jadi dokter. Apapun nantinya, saya cuma ingin membahagiakan ibu dan nenek saya, “ imbuhnya. (Musyafa Musa).

News Reporter

Tinggalkan Balasan