

Rembang – Siang itu matahari bersinar cukup terik. Jalanan berdebu, dengan kanan kiri pohon jati meranggas, akibat musim kemarau.
Suasana sepi, laju kendaraan saya yang melintasi daerah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kebonharjo, tak berpapasan orang sama sekali.
Berbekal petunjuk jalur dari seorang kawan, tujuanku adalah sebuah rumah di ujung hutan bagian tenggara.
Yah..rumah istimewa, karena dihuni seorang wanita yang tinggal sendirian di hutan, dengan mengandalkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Wanita bernama Kartini (59 tahun) itu, menempati gubuk panggung di hutan wilayah perbatasan antara Desa Sale Kecamatan Sale Kabupaten Rembang Jawa Tengah, dengan Desa Wangi Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban Jawa Timur.
Lokasinya dari jalan raya perbatasan kedua provinsi, berjarak sekira 16 kilo meter.
Kartini mengaku tinggal di area itu sejak tahun 2009 silam, karena sedikit tertipu saat membeli tanah yang posisinya berhimpitan dengan kawasan hutan.
“Dulu pemilik yang jual lahan bilang, sekitar sini mau dipakai proyek tebu pemerintah. Kabarnya akan ramai, tapi sampai sekarang hanya rumah saya saja yang berdiri di sini, nggak ada tetangga satu pun,” ungkap wanita warga Desa Sale Kecamatan Sale Kabupaten Rembang ini, Kamis (24 Oktober 2024).
Meski demikian, Kartini tidak pernah menyesal. Ia justru bersyukur, bisa hidup lebih tenang dan fokus bertani di lahan seluas 1 hektar, untuk menopang kehidupannya.
“Tiga anak saya berada di luar kota, sering diajak untuk tinggal dengan mereka, tapi saya yang nggak mau, karena sudah terlanjur nyaman di sini. Alhamdulillah nggak ada gangguan, ya paling ular berbisa hampir tiap hari, sudah biasa,” kata Kartini.
Listrik Tenaga Surya
Kondisi di sekitar rumah Kartini cukup rindang, dengan deretan pohon rambutan, jeruk, pepaya, nangka, petai dan beragam empon-empon.
Tapi sinar matahari masih mudah diterima. Kartini menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) untuk menampung sinar matahari menjadi energi listrik, karena jaringan listrik PLN sangat tidak memungkinkan.
Kartini mengaku memakai dua baterai, guna mengalirkan arus listrik. Lampu penerangan dan keperluan menyedot air sumur bor, menjadi kebutuhan prioritas.
“Air yang paling pokok, kalau lampu hanya ada 2 titik, di dalam kamar dan bagian teras. Itu pun saya hemat betul, kalau pas saya tidur, biasanya lampu saya matikan semua,” imbuhnya.
Ketika musim kemarau panjang seperti sekarang, Kartini menyebut masalah air sempat membuatnya was-was.
Sumur bor di samping rumahnya, kebetulan masih mengeluarkan air untuk keperluan mandi, mencuci dan memasak. Kalau ada sisa, baru dipakai menyiram tanaman.
“Waktu nyedot air, paling cuma 2 atau 3 menit, habis itu saya matikan. Air ini bagi saya luar biasa, soalnya di desa terdekat sudah banyak sumber air mengering. Beberapa kali, ada pembakaran lahan yang apinya merembet nyaris membakar gubuk saya. Untuk memadamkan, saya pakai batang-batang pohon yang basah. Nggak sampai pakai air, karena betul-betul berhemat,” ujar Kartini.
Dari sisi perawatan PLTS, Kartini tidak terlalu menghadapi masalah. Hanya kedepan ia ingin menambah kapasitas baterai, supaya penyimpanan dayanya lebih besar.
“Selain itu panel surya harus tetap dirawat, sesekali dibersihkan, biar nggak ada debu tebal. Kadang di bawah tiang juga dipakai sembunyi tupai, takutnya kabel digigit, malah susah. Soalnya saya sendiri. Kalau anak pas kebetulan pulang, mereka yang benerin,” terangnya.
Kartini menambahkan listrik tenaga surya selama ini menjadi teman sejatinya, kemungkinan hingga kelak akhir hayatnya.
“Matahari sumber energi ramah lingkungan, sudah klop sama kehidupan saya yang menyatu dengan alam. Saya akan tetap tinggal di sini,” pungkas Kartini. (Musyafa).