Makkah – Pada tulisan kali ini saya ingin mengisahkan perjalanan dari Mabit (bermalam) di Muzdalifah, menuju ke Mina untuk lempar jumrah.
Pagi dini hari itu, suasana Muzdalifah sudah sangat ramai. Hilir mudik bus menjemput jemaah datang silih berganti. Jemaah haji harus antri, melalui pintu keluar, di tengah-tengah kepadatan yang semakin meningkat.
Suasana masih gelap. Bagi jemaah yang kelelahan menunggu antrian, biasanya memilih duduk-duduk atau tiduran, sambil terus memantau pergerakan jemaah keluar, kemudian naik bus menuju Mina.
Pada momen inilah, banyak bus sudah terjebak macet di sekitar tenda Mina. Akibatnya, penjemputan jemaah ke Muzdalifah menjadi terlambat.
Atas izin seorang petugas setempat, saya keluar dari salah satu pintu Muzdalifah, kemudian berjalan kaki menuju Mina sejauh kira-kira 5 kilo meter.
Ada jalur khusus bagi pejalan kaki dibatasi pagar tinggi. Di samping kiri jalur pejalan kaki, tampak iring-iringan bus.
“Padahal masih dini hari itu, sudah padat. Pasti semakin siang, akan bertambah ramai,” kata seorang rekan, sambil terus berjalan kaki.
Begitu saya tiba di Mina, tidak serta merta langsung masuk ke area lempar jumrah. Tapi masih harus berjalan kaki melewati sejumlah terowongan, yang jaraknya lumayan jauh, antara 3 – 4 kilo meter.
Tampak rombongan jemaah haji Indonesia sudah banyak yang sampai. Mereka terlihat semangat berjalan kaki, sambil membawa butiran batu kerikil.
Di dalam terowongan berjejer kipas angin besar, untuk memberikan kenyamanan bagi jemaah.
Lempar Jumrah
Setelah sekian lama berjalan kaki, akhirnya kita tiba di lokasi dan langsung melakukan lempar jumrah. Lempar jumrah hukumnya wajib, berlangsung pada tanggal 10 – 13 Dzulhijjah.
Lempar jumrah dilakukan dengan melemparkan batu-batu kecil pada sebuah tiang yang dianggap sebagai perumpamaan setan (iblis) dan hawa nafsu.
“Tanggal 10 Dzulhijjah lempar jumrah aqabah dulu, sebanyak 7 kerikil, masih memakai kain ihram. Setelah itu, pada hari Tasyrik 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, jemaah lempar jumrah sudah bisa tanpa pakaian ihram (pakaian biasa). Urutannya jumrah ula, wustha dan aqabah, masing-masing 7 batu kerikil, sehingga selama tiga hari totalnya 63 kerikil. Kalau dijumlahkan semua dengan hari pertama, pas ada 70 kerikil,” terang seorang petugas pembimbing ibadah.
Usai lempar jumrah, kemudian jemaah diarahkan untuk keluar. Saya sarankan, jangan buru-buru ambil jalan keluar. Pastikan dulu arah yang dituju sudah benar. Soalnya banyak jemaah tersesat, sesudah melakukan lempar jumrah yang pertama.
Kalau terpisah dari rombongan, jemaah bisa bertanya kepada petugas haji Indonesia atau menunggu di satu titik, selanjutnya menginformasikan kepada ketua regu atau ketua rombongan. Takutnya kalau terus berjalan kaki, dikhawatirkan akan semakin menjauh dari kawasan Mina.
Mengingat, setelah lempar jumrah, jemaah masuk ke dalam tenda dan areanya sangat-sangat luas. Sejauh mata memandang, hanya tampak tenda berwarna putih, dengan kelak-kelok lorong jalan yang hampir sama. Apalagi kemana-mana di sekitar Mina ini, harus berjalan kaki.
Tidak ada fasilitas transportasi umum, karena selama puncak ibadah haji, banyak akses jalan ditutup dan dijaga ketat oleh otoritas setempat.
Inilah pentingnya jemaah selalu mengenakan kartu identitas diri, sehingga petugas yang akan memberikan bantuan, bisa lebih mudah mendeteksi lokasi tenda atau menghubungi nomor HP ketua Kloter.
Pada tulisan berikutnya, saya akan kisahkan kegiatan apa yang dilakukan jemaah, setelah ibadah haji Arafah – Muzdalifah – Mina (Armuzna). Wah sudah banyak yang cukur gundul nich. (Musyafa Musa).