Assalamualaikum Wr. Wb.
Makkah – Setelah menunaikan ibadah Umrah wajib di hari pertama masuk Makkah pada musim haji 2023, saya kembali ke hotel Manarat Alminaa Makkah.
Para petugas penyelenggara ibadah haji (PPIH) tambahan, waktu itu sudah mendapatkan pengumuman mengenai lokasi tugas. Mereka langsung mengecek kertas yang ditempelkan di dinding dekat pintu utama hotel. Suasana pun cukup ramai.
Saya coba mendekat dan mencermati nama demi nama. Nama saya kala itu terpampang di nomor 124 dan mendapatkan penempatan daerah tugas di Sektor 5 Madinah.
“Oh saya tugas di Madinah ini, menurut informasi kalau Sektor 5 agak jauh dari Masjid Nabawi,” pikirku.
Saya kemudian bergegas ke kamar hotel, untuk menyiapkan koper pakaian dan perbekalan. Ada pengumuman, bahwa seluruh petugas yang ditempatkan ke Madinah, akan dijemput kendaraan pada keesokan harinya.
Suasana sudah agak sore, kemudian saya pilih istirahat dulu, supaya badan fit kalau perjalanan menuju Madinah. Jarak antara Kota Makkah dan Madinah sekira 400 an kilo meter, ditempuh dengan bus selama kurang lebih 6 jam.
Yah..mungkin jika diibaratkan seperti perjalanan darat dari Rembang Jawa Tengah, ke Bandung Jawa Barat.
“Jauh juga ternyata ya. Saya kemudian membayangkan bagaimana dulu betapa beratnya perjuangan Rasulullah Nabi Muhammad SAW menempuh perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah dengan naik unta. Ya Allah,” ucapku singkat sambil berbaring.
Ide Spontan
Suasana petang mulai menyelimuti Kota Makkah. Tak berselang lama terdengar suara Adzan Maghrib.
Usai sholat Maghrib, saya duduk di kamar hotel bersama 4 orang kawan sesama petugas haji. Kami kebetulan memperoleh daerah tugas yang berbeda-beda. Hanya 1 personil yang sama dengan saya, di Sektor 5 Madinah.
Saat itu saya berpikir jauhnya jarak antara Makkah dan Madinah, berarti akan berpisah dengan Kota Makkah dalam rentang waktu cukup lama.
Makanya saya tercetus ide spontan, malam ini ingin sholat Isya’ sekaligus menginap di Masjidil Haram, sebelum besok berangkat ke Madinah.
Tanpa menunggu lama, saya masukkan kain ihram ke dalam tas. Dengan memakai kaos oblong dan celana hitam, saya turun lift hotel sendirian.
Karena ingin lebih cepat sampai, saya pilih naik taxi saja. Kalau tidak salah, bayarnya 50 Real atau Rp 200 Ribu.
Sopir taxi di Makkah sering kali memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi, membuat saya senam jantung. Apalagi beberapa kali hampir serempetan dengan mobil lain.
“Apa nggak ada remnya ya mobil ini,” batinku sambil mengelus dada.
Akhirnya sebisa mungkin sopir taxi saya ajak ngobrol.
“Sedikit-sedikit pakai bahasa Inggris, kalau bahasa Arab ndak bisa. Biar konsentrasi sopir tidak fokus ngebut aja. Yah lumayan berhasil, nggak terlalu kencang seperti tadi,” ucapku agak lega.
Begitu tiba di akses jalan masuk Masjidil Haram, saya mengucapkan terima kasih sekaligus menyodorkan uang pecahan 50 real kepada sopir tersebut. Ia tampak tersenyum melambaikan tangan.
Menginap Di Masjidil Haram
Langkah kaki saya percepat, karena harus mampir ke toilet di sekitar Masjidil Haram, untuk berganti pakaian ihram.
Setelah itu, saya mencari tempat untuk sholat Isya’ berjamaah. Seperti biasa, menjelang shalat lima waktu, kawasan Masjidil Haram sudah penuh jemaah. Termasuk di bagian pelataran luar.
Selesai sholat Isya’, saya mengelilingi Ka’bah. Karena tidak terlalu padat, saya coba menyentuh Ka’bah untuk pertama kali. Hati bergetar rasanya.
Saya juga sempat mencoba mencium batu Hajar Aswad, yang dipercaya merupakan batu dari surga. Di bagian pojok Hajar Aswad ini selalu ramai. Saya mencoba sampai 4 kali, tapi selalu gagal.
Yang terakhir percobaan, sebenarnya nyaris bisa. Posisi sudah berada persis di depan batu Hajar Aswad, namun tiba-tiba terdorong oleh jemaah lain yang tubuhnya tinggi tegap. Akhirnya saya menjauh lagi.
“Ya sudah, mungkin belum ditakdirkan mencium Hajar Aswad malam ini. Kemungkinan tas besar yang saya bawa, agak menghambat juga, saat berdesak-desakan,” pikirku.
Saya kemudian mencari posisi di pinggiran dekat Ka’bah yang memungkinkan tidak terganggu oleh lalu lalang jemaah. Di situlah saya duduk, sambil terus mengagungkan nama Allah SWT.
Tanpa terasa sudah jam 12 malam. Usai sholat sunnah, jujur ini salah satu do’a yang saya panjatkan.
“Ya Allah, saya masih kangen dengan suasana rumah-Mu (Ka’bah). Berikan saya waktu untuk bisa lebih lama lagi berada di sini Ya Allah,” ucapku lirih.
Keajaiban Tak Terduga
Jam berganti jam tanpa tidur, sholat subuh pun terlewati. Selesai Subuh, saya pulang kembali ke hotel.
Menurut informasi, kendaraan yang akan menjemput petugas haji ke Madinah, datang agak siang selepas Dzuhur. Kala itu hari Minggu tanggal 04 Juni 2023.
Koper pakaian sudah siap, bahkan akan saya keluarkan ke lobi hotel. Mendadak, ada informasi susulan dari pihak Kementerian Agama lewat WA group, bahwa lokasi penempatan tugas terjadi perubahan dan seluruh petugas dimohon mengecek pengumuman terbaru.
Seluruh petugas langsung ke lobi hotel melihat pengumuman yang tertempel di dekat pintu utama. Namaku terpampang di nomor urut 11. Saya yang semula ditugaskan ke Sektor 5 Madinah, berubah menjadi di Sektor Khusus (Seksus) Masjidil Haram.
Sontak, saya tertegun tidak percaya dengan kenyataan yang ada. Keajaiban tak terduga. Ya Allah, do’a ku langsung engkau ijabah/kabulkan. Kata Alhamdulillah berulang kali terlontar.
“Kerinduan dengan Masjidil Haram, dibayar lunas oleh Allah, dengan saya ditempatkan ke Sektor Khusus Masjidil Haram. Rentang waktunya hampir 2 bulan. Berkah luar biasa, mungkin dari saya menginap di Masjidil Haram dan berdo’a di sana. Saya menangis ketika mengabarkan perubahan ini kepada keluarga di Indonesia. Dan saya pun menangis lagi, saat menuliskan kisah ini,” kenangku.
Setelah tulisan ini, akan saya sambung dengan kisah hari-hari awal petugas haji di Masjidil Haram melayani para tamu Allah. Seperti apa tantangannya ?? (Musyafa Musa).
Wassalamualaikum Wr. Wb.