

Rembang – Lantaran dinilai eksis berperan menjaga tradisi sedekah bumi, perwakilan 10 desa dari Kabupaten Rembang mendapatkan undangan terbang ke Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, untuk mengikuti diskusi kelompok tentang sedekah bumi, dalam rangka menyambut Pekan Kebudayaan Nasional.
Ke-10 perwakilan itu, masing-masing berasal dari Desa Sekarsari, Pelemsari, Sumber, Krikilan, Megulung, Kedungasem Kecamatan Sumber, kemudian Desa Ketangi Kecamatan Pamotan, Desa Sudo dan Tanjung Kecamatan Sulang, serta Desa Pondokrejo Kecamatan Bulu.
Total ada 20 perwakilan se-Indonesia hadir dalam kegiatan yang digelar oleh Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan tersebut.
Mereka satu per satu memaparkan potensi seni budaya di desanya masing-masing, untuk memeriahkan event sedekah bumi. Paparan dibagi dari daya warga dan daya desa.
Perwakilan warga Desa Sudo Kecamatan Sulang, Pranghono menyebut sedekah bumi sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Terima kasih kepada bumi kita, setelah panen warga menikmati hasil panen, dituangkan dalam bentuk ritual sedekah bumi, makna bagi kami merawat dan melestarikan bumi, “ tuturnya.
Pranghono menambahkan kegiatan yang berlangsung pekan ini antara tanggal 07 – 10 Agustus itu, memunculkan banyak topik diskusi.
Salah satunya fenomena sedekah bumi yang belakangan ini cenderung berlomba-lomba menampilkan kemewahan, sehingga akhirnya meninggalkan maksud tujuan utama dari sedekah bumi.
“Memang benar pesta, tapi trendnya sekarang sudah mulai over, gede-gedean. Ada rasa keprihatinan, khawatir makna sedekah bumi lambat laun akan hilang karena euforia, “ kata Pranghono.
Ia mencontohkan kegiatan sedekah bumi untuk menghormati bumi, tapi nyatanya sering kali justru menimbulkan banyak tumpukan sampah yang “menyakiti” bumi.
“Tujuan untuk menghormati bumi, tapi di balik itu usai pesta banyak tumpukan sampah yang jadi PR. Ini kontradiktif dan harusnya dicarikan solusi, “ imbuhnya.
Jika di Kabupaten Rembang dan sekitarnya terkenal dengan sebutan sedekah bumi, di daerah lain beragam namanya. Semisal Jambi, penyebutannya cuci kampung, di Bangka Belitung sedekah kampung, di Kalimantan Ngariyak, di Maluku ritual adat, sedangkan di Lombok sudah menjadi semacam festival. Meski beda nama, namun memiliki maksud tujuan yang sama.
Pegiat sedekah bumi di Desa Sekarsari Kecamatan Sumber, Zaenuri mengungkapkan sedekah bumi tidak hanya sekedar pesta keramaian saja. Tetapi di dalamnya terkandung pesan-pesan semangat kerukunan, silaturahmi, kearifan lokal dan kegotongroyongan.
Maka ia termasuk yang sangat setuju apabila sedekah bumi berlangsung dalam suasana kesederhanaan, tanpa meninggalkan tradisi turun temurun.
“Mendingan apa punyanya, semampunya kita, daripada harus keluar biaya mahal-mahal. Syukur yang banyak terlibat warga setempat. Justru itu mendorong semangat kita meningkatkan kreativitas, “ terangnya.
Zaenuri menambahkan usai pertemuan di Mataram NTB, 10 desa yang ikut ambil bagian sepakat merancang tindak lanjut kedepan, salah satunya ingin menggelar festival skala kecil. Rencananya dipusatkan di Desa Sudo Kecamatan Sulang.
“Temen-temen kemungkinan Minggu depan mau ketemu, kita rembug lagi. Menyambut Pekan Kebudayaan Nasional, nantinya juga mau ada kegiatan di Semarang. Insyaallah dari Sekarsari, saya yang ikut kesana. Muda-mudahan semakin membuka pengetahuan kita, “ pungkas Zaenuri. (Musyafa Musa).