Batik Tulis Lasem, Di Tengah Tantangan Dan Upaya Mendunia
Pembeli sedang memilih batik tulis Lasem di show room Pusaka Beruang, Desa Sumbergirang Kecamatan Lasem.
Pembeli sedang memilih batik tulis Lasem di show room Pusaka Beruang, Desa Sumbergirang Kecamatan Lasem.

Lasem – Batik tulis Lasem menghadapi tantangan semakin berkurangnya tenaga kerja pembatik, karena dampak dari pabrik-pabrik besar yang berdiri di Kabupaten Rembang. Salah satunya pabrik sepatu.

Umumnya, rata-rata buruh batik merupakan wanita berusia di atas 50 tahun. Setelah anak-anak mereka bekerja di pabrik, kemudian ibunya diminta untuk berhenti membatik, agar lebih fokus membantu merawat cucu yang ditinggalkan orang tuanya bekerja di pabrik.

Fenomena semacam ini semakin terasa, sebagaimana diungkapkan pengusaha batik tulis Lasem, Santoso Hartono.

Pemilik batik Pusaka Beruang yang membuka showroom di Jl. Jatirogo 34 Desa Sumbergirang Lasem ini mengatakan pihaknya berupaya meningkatkan insentif bagi buruh batik, sehingga mereka masih tertarik menggeluti profesinya.

Selain itu, pengusaha batik dituntut lebih inovatif, supaya mampu mendongkrak omset penjualan.

“Pertama, insentif kita naikkan. Kedua motif batik kita buat lebih variatif, agar memperluas pangsa pasar, “ tutur Santoso.

Langkah-langkah tersebut, membuahkan hasil. Terbukti, batik tulis Lasem sampai sekarang masih tetap eksis dan digandrungi masyarakat.

Dari warga biasa hingga pimpinan negara, sudah merasakan betapa elegannya mengenakan batik tulis Lasem.

Santoso menambahkan pemasaran secara online, membuka jaringan simpul-simpul baru. Ia menyebut di Indonesia, batik Lasem termasuk primadona. Sedangkan pasar luar negeri, menurutnya negara Jepang paling banyak memesan batik Lasem.

“Kalau Eropa masih jarang, “ imbuhnya.

Santoso menegaskan kendala yang muncul, diimbangi dengan solusi. Bagaimanapun, batik tulis Lasem harus lestari. Mengingat, salah satu warisan budaya, sejak abad ke-13, semasa kerajaan Majapahit. Kala itu, Lasem menjadi bagian wilayah Majapahit.

Kemudian batik Lasem mengalami akulturasi budaya, saat pelaut dari Tiongkok, Laksamana Ceng Ho mendarat di Lasem pada abad ke-15. Para pedagang Tiongkok semakin ramai singgah ke Lasem, sekaligus mempengaruhi motif dan warna batik.

Warna merah khas Tiongkok, warna biru Belanda dan coklat yang merupakan khas warna Jawa, yang akhirnya terkenal dengan batik tiga negeri.

Bagi pembeli kain batik dari Desa Karas Kecamatan Sedan – Rembang, Nuning Rubiyatul Laila mengaku batik tiga negeri yang paling ia suka, karena kombinasi warnanya begitu khas.

Sedangkan soal harga, menurut Nuning tinggal menyesuaikan kekuatan kantong dan selera masing-masing. Ada yang ratusan ribu, ada pula yang sampai jutaan rupiah.

“Mau dipakai formal maupun santai ok, warnanya bisa buat semua umur. Ini saya mau beli buat acara akd nikah, untuk mengenalkan budaya kita batik Lasem. Tiga negeri tetap jadi idola, “ tuturnya.

Nuning berharap para pembatik tetap semangat, lebih-lebih saat ini pemerintah pusat sudah melakukan penataan Kota Pusaka Lasem. Diharapkan akan semakin banyak wisatawan datang ke Lasem, sekaligus memberikan angin segar, bagi pemasaran batik tulis Lasem.

“Semoga batik Lasem akan mendunia, ” pungkas Nuning. (Musyafa Musa).

News Reporter

Tinggalkan Balasan