

Rembang – Nelayan mengeluhkan semakin banyaknya alat tangkap ikan tidak ramah lingkungan di perairan Kabupaten Rembang.
Dartono, seorang nelayan dari Desa Sukoharjo Rembang mengamati mereka beroperasi seperti tidak mengenal waktu.
Kondisi tersebut membuat nelayan pengguna alat tangkap ramah lingkungan seperti dirinya, semakin terjepit.
“Mereka (yang tidak ramah lingkungan) pagi ok, siang ok, malam juga ok. Kami yang hanya pada malam dan pagi, semakin terjepit. Kebanyakan kita malam hari,” ungkapnya, Rabu (31/07) dalam sosialisasi berbasis masyarakat yang digelar Kementerian Kelautan Dan Perikanan.
Dartono menyebut nelayan tidak ramah lingkungan sering melaut di pinggiran pantai, sehingga sangat rentan merusak bobo penjebak rajungan milik nelayan lain. Kondisi ini rawan memicu konflik antar nelayan.
“Jarak 1 Mil lebih sedikit sudah ada, sangat mengkhawatirkan sekali. Alat-alat kami sering hilang. Kecuali kalau mereka jauh-jauh sana, di atas 12 Mil,” keluh Dartono.
Ia menilai pengawasan dan penindakan aparat masih kurang maksimal. Terbukti, jumlah alat tangkap tidak ramah lingkungan bukannya berkurang, justru kian bertambah.
“Kalau kami bertindak, salah. Nggak bertindak, kami juga menanggung anak isteri. Coro jowone sudah kuweleh (putus asa). Diempet, mengganjal di hati. Dikeluarkan, juga tidak ada realisasinya,” ucapnya.
Dartono berharap adanya program transmigrasi nelayan, dengan mencarikan area hasil tangkapan yang masih bagus. Kalau difasilitasi pemerintah, ia siap ikut.
“Ibaratnya transmigrasi. Mohon dicarikan daerah yang belum begitu terjamah. Selama kita difasilitasi dan datang tinggal melaut saja, insyaallah kami siap. Soalnya di perairan Laut Jawa sudah padat,” pungkas Dartono.
Cothok vs Bobo Rajungan
Kepala Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Rembang, Sofyan Cholid mengakui untuk mengatasi alat tangkap tidak ramah lingkungan di wilayahnya cukup sulit.
“Soal ini, maaf saya belum bisa menjawab gamblang. Tapi kita harus tetap optimis, soalnya di Pati bisa,” ujarnya.
Ia menimpali perlu komitmen keseriusan bersama untuk menghindari pemakaian alat tangkap tidak ramah lingkungan.
“Pemerintah mikirnya jangka panjang, sedangkan masyarakat mikirnya jangka pendek. Misal jaring cothok yang tidak ramah dan bobo rajungan yang ramah. Nelayan cothok bilang, bobo menghalangi jalurku, harus ditata. Yang nelayan rajungan bilang memang bobo ditaruh di situ, biar cothok tidak melintas,” ungkap Sofyan.
Apalagi tiap kali pengguna alat tidak ramah lingkungan tertangkap, sejauh ini belum ada penindakan hukum secara tegas.
“Sifatnya dimusyawarahkan, paling banter restorative justice,” ucapnya.
Sofyan memerintahkan kepada Kabidnya untuk tidak memberikan bantuan bagi nelayan pemakai alat tangkap tidak ramah lingkungan.
“Kalau masih tetap dikasih ya sama saja mendukung mereka, udah, nggak usah dikasih bantuan,” pungkasnya.
Sementara itu, anggota Komisi IV DPR RI, Firman Subagyo menyatakan permasalahan nelayan di pesisir pantai utara Jawa Tengah sangat beragam, dari masa ke masa.
Ia berpendapat solusi terbaik adalah kembali pada regulasi aturan.
“DPR dan pemerintah sudah membuat rambu-rambu. Kalau ini ditabrak, akan membuat tatanan berubah. Sementara pemerintah punya prioritas-prioritas yang harus diatasi. Mari kita sama-sama berkontribusi positif untuk sumber daya kelautan dan perikanan,” dorong Firfman. (Musyafa Musa).