

Rembang – Di sebelah timur Museum Kartini Rembang, terdapat deretan kamar selir. Kamar tersebut dulunya ditempati oleh isteri selir Bupati Rembang, Raden Mas Singgih Djojo Adhiningrat.
Pengunjung Museum Kartini memang jarang sampai ke lokasi kamar selir. Namun sejumlah warga yang penasaran, terkadang mencoba melihat – lihat situasi kamar selir. Dari 4 kamar kondisinya tidak terawat, justru sebagian beralih fungsi menjadi gudang. Ada pula yang digunakan untuk tempat tidur penjaga kompleks Museum Kartini.
Pertanyaan yang sering muncul dari pengunjung museum, apakah kala itu RA. Kartini sedih dan tertekan, karena suaminya, Singgih Djojo Adhiningrat memiliki 4 isteri selir?
Guide wisata Museum Kartini, Nugraheni Saputri Nurhidayah mengungkapkan pada awalnya Singgih Djojo Adhiningrat memiliki seorang permaisuri, dari golongan bangsawan. Selain itu mempunyai 4 selir, mereka berasal dari golongan masyarakat biasa. Permaisuri meninggal dunia, baru kemudian Bupati Rembang menikah dengan RA. Kartini.
Soal cemburu, menurut riwayat sejarah sesekali dirasakan RA. Kartini. Namun digambarkan sebagai sesuatu yang wajar. Mengacu surat – surat yang ditulis RA. Kartini, ia merasa bahagia memiliki suami yang terbuka dan mendukung kemauannya mengajar, guna memajukan pendidikan rakyat pribumi.
“Pada zaman itu, selir nggak bisa jadi permaisuri. Permaisuri harus sama golongannya dengan sang Bupati. Saya sempat membaca surat – surat yang ditulis RA. Kartini. Ia bahagia karena suaminya mendukung sekali RA. Kartini memberikan fasilitas sekolah bagi rakyat biasa. Jadi soal cemburu suami punya isteri lebih dari satu, nggak lebih besar dari kebahagiaannya memiliki suami yang open minded, “ terangnya.
Lebih lanjut Nugraheni menceritakan silsilah RA. Kartini sebagai keturunan Raja Majapahit. Namun RA. Kartini sendiri memeluk agama Islam, dibuktikan pernah mengaji dengan gurunya bernama Kiai Soleh Darat.
Kartini sempat mengeluh tidak memahami arti ayat – ayat kitab suci Alqur’an. Ia memohon kepada Kiai Soleh Darat bersedia menerjemahkan. Sampai sekarang, peninggalan terjemahan Kiai Soleh Darat masih utuh tersimpan di Museum Kartini. Dari total 30 juz, baru selesai 13 juz.
“RA. Kartini ngaji di rumah pamannya, ketemulah dengan Kiai Soleh Darat. Saat minta Alqur’an diterjemahkan, Kiai Soleh Darat sempat menolak, karena isi dari Alqur’an kala itu nggak terlalu diekspose. RA. Kartini lalu bilang mana mungkin saya bisa mencintai agama saya, kalau tidak memahami artinya. Mendengar kegundahan RA. Kartini, Kiai Soleh Darat sampai menangis dan akhirnya bersedia membuat terjemahan, “ ungkap Nugraheni.
Dari serangkaian kisah tersebut, menurut Nugraheni, RA. Kartini sangat kental dengan sosok yang sabar, peduli terhadap orang lain dan mau belajar. Semangat semacam itu layak dilanjutkan, terutama oleh generasi milenial yang belakangan ini rawan terpengaruh oleh kebiasaan acuh tak acuh. (MJ – 81).