

Rembang – Festival buah durian berlangsung selama dua hari, Sabtu dan Minggu (03 – 04 Februari) di Alun-Alun Rembang.
Desa-desa penghasil durian dari berbagai kecamatan didatangkan langsung, sekaligus membuka lapak di stand yang sudah disiapkan oleh pihak Dinas Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa (Dinpermades).
Sejumlah pengunjung menganggap kegiatan semacam ini menarik, untuk menyedot perhatian para pecinta buah durian. Namun mereka mempertanyakan kenapa harganya masih relatif cukup tinggi.
“Ternyata harga terendah Rp 25 Ribu, itupun ukuran kecil-kecil. Kalau dari sisi harga, masih kalah sama durian dari daerah lain yang dijual di mobil-mobil bak terbuka itu, 15 atau 20 ribu sudah dapat,” kata Bambang
Purdianto, salah satu penjual buah durian dari Desa Criwik Kecamatan Pancur mengatakan harga termurah Rp 30 Ribu, sedangkan yang termahal Rp 100 Ribu per buah.
Meski demikian, menurutnya durian Criwik tetap menawarkan rasa khas.
“Soalnya memang nggak panen raya mas, jumlah hasil panen sedikit, bulan Maret mungkin sudah habis. Tapi bagi pecinta durian, Criwik tetap ngangeni,” ungkapnya.
Purdianto beralasan musim panen kali ini tergolong agak gagal, karena faktor cuaca yang tidak mendukung.
Ia mencontohkan kalau kondisi normal satu pohon bisa menghasilkan 100, sekarang rata-rata hanya 25.
“Kalau panas, kemudian ada hujan itu bagus. Tapi kemarin waktunya mau berbuah, hujannya ditunggu-tunggu nggak ada, jadi pengaruh ke harga nggak stabil,” beber pemilik lapak buah durian yang terkenal dengan sebutan sor sawo ini.
Sementara itu, Kepala Dinpermades Kabupaten Rembang, Slamet Haryanto menyatakan pihaknya menggelar event Rembang Kenduren untuk meningkatkan perekonomian lokal, sekaligus membantu pemasaran para petani.
“Kita libatkan 23 desa penghasil durian, kebanyakan varietas lokal. Nggak hanya durian saja yang dijual, tapi ada es durian maupun makanan olahan lainnya. Komoditas perkebunan, seperti petai, nangka maupun alpukat, juga ikut dijajakan oleh petani. Sabtu siang sudah resmi dibuka,” tuturnya.
Slamet menambahkan peran desa membangun kawasan menjadi sangat strategis, sehingga ada percepatan dalam memberdayakan potensi.
“Misal ada Tersanjung Rowatu, gabungan dari Desa Terjan, Sendang, Tanjungsari, Woro dan Watupecah, kemudian ada lagi di tempat lain, kita ingin mereka lebih berdaya,” pungkas Slamet. (Musyafa Musa).