Catatan Petugas Haji (08) : Penasaran Soal Kuota Internet Dan Makannya Bagaimana ??
Salah satu menu makan siang petugas haji. (Foto atas) Penulis saat memberikan minum kepada jemaah yang kelelahan di area Masjidil Haram.
Salah satu menu makan siang petugas haji. (Foto atas) Penulis saat memberikan minum kepada jemaah yang kelelahan di area Masjidil Haram.

Makkah – Sering muncul pertanyaan, ketika menjadi petugas haji di tanah suci, bagaimana hubungan komunikasi melalui telefon dan asupan makanan ??

Nah..di tulisan kali ini akan saya ceritakan menurut versi pengalaman saya saat menjadi panitia penyelenggara ibadah haji (PPIH) pada musim haji bulan Juni – Juli tahun 2023.

Pertama, soal hubungan komunikasi. Ibaratnya hal ini menjadi salah satu kebutuhan utama, apalagi petugas haji juga diwajibkan mengupdate informasi melalui WhatsApp group dan laporan menggunakan aplikasi khusus.

Artinya, kuota internet harus selalu siap. Meski dari Indonesia, kuota internet masih ada, namun begitu masuk tanah suci, kita harus menyesuaikan.

Terdapat dua pilihan, apakah membeli paket roaming dengan provider Indonesia atau membeli kartu perdana provider Arab Saudi.

Saya putuskan untuk membeli paket roaming dengan provider Indonesia. Sebenarnya banyak rekan sesama petugas yang sudah membeli dari tanah air, sebelum mereka berangkat. Namun saya termasuk yang membeli paket kuota, setelah tiba di tanah suci.

Banyak penawaran jenis paket waktu itu. Saya memilih harga Rp 850 Ribu per bulan, sehingga selama hampir 2 bulan di sana, habis biaya sekira Rp 1,7 Juta untuk membeli paket data internet. Transaksi pembelian bisa secara online via transfer.

“Saya juga pake yang itu (Rp 850 Ribu). Sinyalnya lancar, relatif nggak ada kendala. Mau digunakan video call juga aman kok, seperti makai pas masih di Indonesia,” kata seorang rekan mengungkapkan pengalamannya.

Sebagai perbandingan, kalau di Indonesia, biasanya saya memakai paket data Smartfren, rata-rata habis Rp 90 Ribu per bulan atau hanya Rp 180 Ribu untuk dua bulan.

Menu Makan

Sekarang soal makan. Petugas haji tiap hari memperolah jatah makan 3 kali, yakni sarapan, makan siang dan makan malam. Teknisnya, diantar ke hotel penginapan oleh petugas Seksi Konsumsi. Tapi terkadang juga dibawa ke lokasi tugas.

Menunya, masakan khas Indonesia. Nasi putih dan lauk, bervariasi. Kalau siang, biasanya dilengkapi sayur berkuah. Ada pula buahnya, paling sering pisang, jeruk dan apel Arab.

“Jadi kalau soal makanan, tidak ada kendala. Ketika pas agak bosan saja, kita selingi dengan makan di luar,” kata Didi, seorang petugas.

Hanya pada waktu puncak haji di Arafah, Muzdalifah dan Mina (Armuzna), suplai makanan sempat dihentikan 3 hari, karena alasan kepadatan di jalan raya, mengakibatkan tersendatnya transportasi pengantaran makanan.

Petugas haji banyak yang membeli beragam makanan khas Arab Saudi. Tapi ada pula yang merasa kurang cocok, karena selain jenis nasi berbeda, bau rempahnya juga cukup menyengat.

Saya termasuk yang sulit beradaptasi dengan makanan di Arab Saudi. Selama masa penghentian konsumsi, saya kebetulan mendapatkan saran dari seorang teman sesama petugas haji, untuk menumpang makan di kantor Daker (Daerah Kerja) Makkah.

“Saya coba ke sana (Daker), kadang sehari sekali atau bahkan sehari dua kali. Kebetulan dari hotel menginap, jalan kaki hanya butuh waktu 10 menit. Di kantor Daker, saya bisa makan nasi putih khas Indonesia, serta lauk pauk prasmanan. Tapi situasional juga, soalnya peruntukan makanan di Daker terbatas. Bagi saya sangat membantu, sambil menunggu pasokan makan kembali normal,” tuturku kepada rekan sekamar.

Setelah tulisan ini, akan berlanjut dengan kisah kebiasaan di Masjidil Haram yang membuat saya tertegun dan bertekad ingin terus menirunya. Kebiasaan apakah itu ? (Musyafa Musa).

News Reporter

Tinggalkan Balasan