Rembang – Hari Pers Nasional (HPN) di Kabupaten Rembang, tak lengkap kiranya kalau tidak mendengarkan kisah sesepuh wartawan yang dulu sempat malang melintang di dunia penulisan berita.
Namanya Slamet Widodo, pria berusia 69 tahun yang tinggal di Perumahan Permata Hijau Ngotet Rembang.
Widodo dulu merupakan pegawai Humas Pemkab Rembang, sekaligus Bagian Pemberitaan Radio RSPD. Ia juga merangkap wartawan Koran Suara Merdeka.
Antara tahun 1990 hingga 2000 an, Slamet Widodo merasakan suasana menjadi wartawan di zaman Orde Baru, saat pemerintahan Presiden Soeharto.
Slamet mengaku kala itu setiap hari menulis antara 2 – 3 berita. Karena semua serba manual, ia menggunakan mesin ketik. Begitu berita jadi, materinya dikirim melalui pos atau faksimile.
“Kalau lewat pos, lama, bisa dua sampai tiga hari. Setelah itu lewat fax, lebih cepat, “ tuturnya agak terbata.
Setelah perusahaan media tidak membolehkan wartawan merangkap jadi pegawai negeri, Slamet Widodo memutuskan fokus pada pekerjaan utamanya.
Ia beberapa kali dimutasi ke sejumlah instansi, seperti Dinas Pengelolaan Pasar, Dinas Kesehatan dan terakhir di Kelurahan Tanjungsari, menjelang pensiun tahun 2010.
Wartawan Kedaulatan Rakyat, Agus Sutomo saat mengunjungi Slamet Widodo, Jum’at siang (10/02) mengatakan sosok Slamet muda termasuk sangat aktif.
“Yang saya ingat, kemana-mana liputan selalu pakai motor Vespa, “ kata Agus.
Salah satu putra Slamet Widodo, Andika Eka Prasetyana mengisahkan banyak pengalaman yang tidak terlupakan, saat ayahnya berprofesi sebagai wartawan.
Ia ingat betul, ayahnya sering lembur mengetik berita sampai malam hari. Andika kerap mengganggu memainkan mesin ketik, padahal berita belum jadi. Akibatnya, sang ayah harus mengulang kembali ketikannya.
“Pas bapak istirahat, mesin ketik saya mainkan, namanya anak-anak penasaran kan. Bapak tahu, lhoo wah langsung marah. Tapi habis itu ya senyum-senyum. Karena berita belum jadi, ya bapak ngulang lagi, “ kata Andika.
Ketika ayahnya pulang dari kantor, Andika selalu menanyakan membawa koran atau tidak.
“Yang paling saya tanya pertama kali, korane ndi pak ? bapak jawab mesti sing ditakokke kok koran. Soalnya saya seneng baca. Seingat saya, saya duduk di bangku SMP waktu itu, “ ucapnya.
Andika mempunyai banyak kenangan lain, saat kebetulan diajak ayahnya liputan. Mulai dari berkenalan dengan pemain Ria Jenaka TVRI, ketika ada kegiatan di Pendopo Kabupaten Rembang.
“Kenal dan bisa tahu pemain Ria Jenaka, Ateng sama Iskak, “ imbuh Andika.
Kemudian bisa melihat langsung dari dekat Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto, saat berkunjung di Stadion Krida Rembang.
“Waktu itu Hari Jadi Rembang atau apa, saya diajak ke stadion. Saya lihat bapak berjabat tangan dengan pak Harto, itu fotonya masih ada, “ ucapnya sambil menunjuk foto yang terpajang di dinding.
Andika pun mengungkapkan rasa bangganya memiliki seorang ayah yang pernah menjadi wartawan.
“Saya bangga, bapak menyebarkan informasi kepada masyarakat di masanya. Kebetulan ibu sudah meninggal dunia, bapak hidup sendiri, kita gantian merawat bapak, “ pungkas Andika. (Musyafa Musa).