Kisah Mbah Karmani, Ada Yang Paling Berkesan Selama Perang Melawan Belanda
Mbah Karmani dan puteranya, Serma Purn. Sugeng. (Foto atas) Mbah Karmani menunjukkan KTP miliknya, kelahiran 21 Maret 1920.
Mbah Karmani dan puteranya, Serma Purn. Sugeng. (Foto atas) Mbah Karmani menunjukkan KTP miliknya, kelahiran 21 Maret 1920.

Kaliori – Sosok pria bernama Mbah Karmani ini tergolong sangat langka. Selain karena usianya sudah 102 tahun, umur yang memang jarang ditemukan, karena rekan-rekan seangkatannya lebih dulu meninggal dunia.

Ternyata Mbah Karmani juga menyimpan kisah heroik, yakni sebagai pejuang kemerdekaan. Pria ber-KTP Desa Pulo Rembang yang tinggal di Dusun Siman Desa Sendangagung Kecamatan Kaliori tersebut, menjadi satu-satunya pejuang kemerdekaan RI yang masih hidup di Kabupaten Rembang.

Ia lahir tanggal 21 Maret 1920 atau setahun lebih awal, dibandingkan kelahiran mantan Presiden Soeharto.

Salah satu puteranya, pensiunan TNI, Serma Purn. Sugeng mengaku bangga memiliki bapak seorang pejuang kemerdekaan.

Dulu ayahnya pertama kali menjadi tentara sukarela Pembela Tanah Air (Peta) di kampung halamannya Desa Kalipang Kecamatan Sarang – Rembang. Peta adalah satuan militer bentukan Jepang saat masih menduduki Indonesia, sekira tahun 1943.

Setelah Jepang dilucuti tentara Sekutu pasca Indonesia merdeka, terjadilah Agresi Militer Belanda ke-II di Indonesia era tahun 1948.

Dari situlah Karmani muda, mulai berpindah-pindah. Ikut perang melawan Belanda di Semarang, Ambarawa dan sejumlah daerah di Jawa Timur.

Yang paling berkesan saat perang di Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur. Karmani bersama rekan-rekannya dibombardir dari udara, beruntung masih selamat.

“Istilahnya nyawa keliwatan, kuasa Tuhan, ayah masih hidup. Kata ayah saya, di Tambak Beras itu yang paling berat, “ ungkapnya.

Mbah Karmani mengaku semula hanya bermodalkan bambu runcing. Namun ia bisa membawa senjata api, hasil rebutan dari tentara Belanda yang tewas.

“Pernah saya dari pinggir kali, nembak tentara Belanda tiga orang, glundhung semua,” kenangnya.

Mbah Karmani kala itu bergabung dengan pasukan Divisi Ronggolawe, yang pucuk pimpinannya adalah Mayor Jenderal Jatikusumo, seorang keturunan keraton. Sedangkan Komandan Batalyon nya, Mayjend Moenadi, pernah menjabat Gubernur Jawa Tengah.

“Kalau komandan regu saya Sersan Paeran orang Pandean Rembang, ketembak Londo. Kemudian Komandan Pleton Prawito orang Tawangsasi, Komandan Kompi H. Nursalam orang Sulang. Semua sudah meninggal, “ imbuhnya.

Ketika adu tembak dengan tentara Belanda, Mbah Karmani pernah jatuh ke dalam jurang, sehingga mengakibatkan tangan kanannya cacat dan dahinya terbentur batu.

“Jurang di bawahnya sungai. Baju saya sampai robek semua, habis itu saya ke kampung terdekat, minta baju sama warga, “ kata Mbah Karmani.

Mbah Karmani terakhir kali menjadi tentara berpangkat Pratu. Karena kondisi tangannya pula ia ikut terkena sasaran rasionalisasi, sejak tahun 1953. Meski berhenti, namun tidak langsung mendapatkan uang pensiun.

Setelah 29 tahun berulang kali mengajukan dan gagal terealisasi, pada tahun 1982 kebetulan berlangsung pertemuan para veteran di Gedung DPRD Rembang. Tak disangka, Mbah Karmani bertemu dengan mantan Komandan Batalyon nya, Mayjend Moenadi.

Saat itulah Moenadi memastikan siap membantu, hingga akhirnya Mbah Karmani bisa memperoleh pensiun. Setiap bulan menerima Rp 1.670.000, ditambah dengan tunjangan veteran menjadi hampir Rp 2 Juta.

“Kurang lebih segitu, alhamdulillah, terima kasih sama pemerintah yang masih memperhatikan, untuk hidup di hari tua, “ beber Serma Purn. Sugeng yang duduk bersebelahan dengan ayahandanya.

Meski sudah berusia 102 tahun, namun Mbah Karmani masih nampak sehat. Hanya mengalami gangguan pendengaran saja. Ditanya tentang kunci panjang umurnya, pria yang mempunyai 6 cucu dan 11 buyut ini menjawab singkat yang penting “Ati Ayem” atau hati tenang.

“Sing penting ati ayem, “ ucapnya.

Pada momen tertentu, Mbah Karmani biasa berkumpul bersama rekan-rekannya sesama pensiunan di Gedung Juang Rembang, sebelah utara Stadion Krida.

Gedung Juang yang kondisinya terancam ambruk karena ditopang sejumlah tiang penyangga darurat ini, menjadi sangat ironis, konon di tengah kobaran semangat mengisi kemerdekaan dan mengenang jasa para pahlawan. (Musyafa Musa).

News Reporter

Tinggalkan Balasan