Sulang – Hutan selatan Desa Sudo, Kecamatan Sulang, Kabupaten Rembang, masih cukup rimbun, berbatasan langsung dengan Desa Pondokrejo, Kecamatan Bulu.
Namun siapa sangka, ternyata ada pasangan suami isteri yang tinggal menetap di hutan tersebut. Namanya Mbah Legiman (64 tahun) dan Bu Sumini (59 tahun). Lahan yang didirikan rumah milik sendiri, namun kebetulan posisi kanan kirinya diapit Hutan Sudo milik Perhutani KPH Mantingan. Jarak dengan perkampungan penduduk sekira 1 kilo meter.
Mbah Legiman mengisahkan dulu tinggal di kampung, berbaur dengan masyarakat pada umumnya. Kala itu isterinya sering sakit-sakitan. Diobatkan kemana-mana, sampai menjual sapi dan tanah, tak kunjung sembuh.
“Berobat ke Rembang, ke Pati, penyakitnya banyak, komplikasi, belum sembuh juga, “ ungkapnya dengan bahasa Jawa.
Lantaran yang tersisa tanah di dekat hutan, ia bersama sang isteri memutuskan keluar kampung dan menetap di lokasi tersebut, dengan membangun rumah sederhana, sekaligus berfungsi sebagai kandang ternak. Sedangkan kedua anaknya sudah berkeluarga, tinggal di tempat terpisah.
Meski berjauhan, namun anak-anak masih tetap sering datang membantu aktivitas orang tuanya.
Setelah tinggal di hutan, lambat laun kondisi kesehatan bu Sumini semakin membaik. Bisa jadi karena udara segar, hidup tenang, justru membuat wanita ini lebih menikmati hidup.
“Kalau di dalam kampung, dengar suara ini masuk, suara apa lagi masuk. Tapi di sini tetangganya cuma burung, ayam, kambing dan sapi, pikiran tenang, “ kata keduanya tersenyum.
Mbah Legiman dan Bu Sumini termasuk orang-orang yang tangguh, ulet, serta mau bekerja keras. Keduanya bahu membahu merawat ternak, mengoptimalkan banyaknya potensi pakan di dalam hutan. Bermula dari kambing, kemudian dibelikan sapi dan sekarang sudah berkembang menjadi 5 ekor sapi.
Tiap hari sapi dilepas ke hutan, untuk memenuhi asupan pakan. Di sela-sela aktivitas merawat ternak, mereka juga mengambil daun jati dan daun ploso, yang dijual kepada pengepul. Per hari bisa memperoleh pendapatan rata-rata Rp 50 Ribu, sekedar untuk membeli beras demi menyambung hidup.
“Daun jati biasanya dipakai untuk bungkus tempe, yang daun ploso digunakan bungkus tape atau jajanan lain. Seikat besar, mungkin isi 2 ribuan lembar, kami dapat Rp 50 ribu, “ imbuhnya.
Saat ditanya tentang bantuan pemerintah, Legiman menanggapi dengan komentar cukup menarik. Ia mendapatkan berkah berupa fisik badan normal, usaha keringat sendiri, menurutnya akan jauh lebih berharga, ketimbang menantikan bantuan pemerintah. Kalau ingin meminta, baginya memohon saja kepada Allah.
“Saya dikasih badan genap, kalau minta ya minta sama Allah. Soalnya minta dengan bangsanya, kalau nggak dikasih malu saya. Tapi kalau dikasih, akan saya terima, yang penting nggak minta-minta, “ terang Legiman.
7 tahun sudah, pasangan suami isteri ini menetap di hutan. Mereka mengaku tidak pernah menghadapi gangguan, entah dari binatang buas maupun dari makhluk tak kasat mata.
Legiman dan Sumini meyakini Allah Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa akan melindungi. Yang terpenting, jangan pernah berbuat tidak baik kepada siapapun.
“Kalau benar, gusti Allah akan melindungi. Pasrah dengan yang kuasa saja, karena nyawa hanya titipan, “ ujarnya.
Sampai detik ini, keduanya bertekad masih akan tetap bertahan tinggal di hutan, meski berteman kesunyian dan menghadapi berbagai keterbatasan. Apalagi ketika musim penghujan tiba, untuk menuju kampung terpaksa harus berjalan kaki, karena jalan setapak sulit dilalui kendaraan.
Mbah Legiman dan Sumini menganggap hutan memberikan kemudahan atas segala aktivitasnya. Kelak ketika sudah semakin lanjut usia, manakala tenaga sudah tak kuat lagi bekerja, kemungkinan baru akan memilih tinggal bersama anak mereka.
“Soalnya kalau sekarang, dekat hutan, mau cari rumput mudah. Lhah kalau di kampung kan jauh. Air tinggal nyedot dari sumur. Mumpung tenaga masih kuat, ya sebisa mungkin bekerja, biar nggak merepotkan anak, “ pungkas Legiman menyudahi. (Musyafa Musa).