Masalah Air Bersih : Peninggalan Belanda, Konsepnya Layak Ditiru Pemda
Warga mengambil air dari sumur tua peninggalan Belanda di kawasan Tembok Malang, Rembang.
Warga mengambil air dari sumur tua peninggalan Belanda di kawasan Tembok Malang, Rembang.

Rembang – Peninggalan zaman Belanda di Kota Rembang, Jawa Tengah yang tetap bertahan dan hingga saat ini masih dimanfaatkan oleh masyarakat. Selain jalur Pantura, kira-kira apa ya ?

Nah..jawabannya adalah sumur-sumur tua peninggalan Belanda. Sumur dengan bentuk khas terdapat penutup di bagian atasnya ini, seperti yang ada di sebelah utara dan selatan kawasan Tembok Malang, Rembang, sekitar Jl. Dr. Wahidin atau warga setempat mengenalnya dengan pusat Sate Srepeh, salah satu makanan khas Rembang.

Warga Tionghoa di dekat Tembok Malang, Rembang, Tan Tje Ming mengaku sejak ia kecil, sumur kuno tersebut sudah ada.

“Yang jelas, ketika saya kecil sudah ada, “ ungkapnya, Jum’at (27/08).

Selain di sekitar Tembok Malang, sumur-sumur tua ini juga bisa ditemukan di pinggir jalur Pantura Rembang, jalan utama Semarang – Surabaya. Tepatnya depan Kantor Pos dan di titik perempatan jalan menuju Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tasikagung. Rata-rata posisi sumur berada di dekat perempatan jalan.

Pagi sampai malam, warga hilir mudik mengambil air dari sumur-sumur peninggalan Belanda ini. Kebanyakan digunakan untuk bekal nelayan melaut maupun keperluan pengolahan ikan. Meski posisi sumur dekat dengan pantai utara, namun airnya terasa tawar, sehingga tidak mengherankan jika menjadi andalan masyarakat. Bahkan ada pula yang mengambil air sumur, untuk dijual kembali.

Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Kabupaten Rembang, Edi Winarno menjelaskan pusat ibu kota Kabupaten dipindahkan dari Lasem ke Kota Rembang pada tahun 1750. Awal tahun 1800 an, rezim pemerintah Kolonial Belanda merambah ke Indonesia, termasuk di Kota Rembang.

Pusat perumahan warga Belanda mulai berdiri di sebelah barat Kali Capluk atau sekarang Sungai Karanggeneng, karena lokasi tersebut menjadi pusat perdagangan antar negara. Seiring bergulirnya waktu, perumahan warga Belanda melebar ke arah timur sampai Desa Kabongan Lor, Rembang.

“Menurut peta Belanda, Sungai Karanggeneng dulunya dinamakan Kali Capluk, “ ungkap Edi, Kamis (26 Agustus 2021).

Kemudian dibuatlah sumur-sumur, untuk memenuhi kebutuhan warganya. Bentuk sumurnya unik, berbeda dengan sumur-sumur buatan era sekarang. Yang menarik, meski sudah berusia lebih dari 200 tahun, namun sampai sekarang sumur masih bermanfaat.

“Sumur ini menarik. Bukan hanya karena bentuknya yang unik, diberi penutup lingkaran maupun persegi, tapi juga sumber airnya masih bagus dan dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk keperluan sehari-hari, “ imbuhnya.

Sejarawan yang tinggal di Dusun Pereng, Desa Jeruk, Kecamatan Pancur – Rembang ini mengakui keberadaan sumur itu merupakan kejelian Pemerintah Kolonial Belanda dalam penataan kota. Mereka juga memperhatikan kepentingan publik, sehingga warga bisa mendapatkan air dengan mudah dan gratis.

Menurutnya, cara tersebut layak ditiru Pemkab Rembang. Andai saja Pemkab mendatangkan ahli, untuk membuat sumur-sumur di tiap perempatan jalan besar, sehingga terbuka seluas-luasnya akses memperoleh air secara gratis, tentu menjadi program yang sangat bagus. Bisa saja, wilayah Kabupaten Rembang tidak akan lagi kesulitan air, utamanya di musim kemarau.

“Menurut saya ini strategi Pemerintah Belanda yang bisa ditiru. Kalau jadi prioritas Pemkab Rembang dalam menata kota, sekaligus memperhatikan kepentingan publik, sangat bagus diikuti. Di Lasem dulu banyak ledeng-ledeng air gratis. Hal-hal seperti ini dirindukan, “ terangnya.

Edi Winarno menambahkan sumur-sumur kuno peninggalan Belanda di Kota Rembang sebenarnya cukup banyak. Tapi sebagian ada yang tertutup, karena dampak pelebaran jalan dan bertambah padatnya permukiman.

Ia mengajak masyarakat untuk turut menjaga sumur tua peninggalan Belanda yang masih ada di pinggir jalur Pantura dan Tembok Malang, supaya jangan sampai rusak. (Musyafa Musa).

News Reporter

Tinggalkan Balasan