Sumber – Di zaman modern seperti sekarang, mitos pantangan masuk ke sebuah dusun, ternyata masih saja bercokol sangat kuat. Akibatnya, masyarakat setempat yang dirugikan, karena mereka mendapatkan perlakuan tidak adil.
Yah..namanya Dusun Ngaglik, Desa Kedungasem, Kecamatan Sumber, Kabupaten Rembang, sebuah dusun yang dihuni 40 an kepala keluarga.
Sejak puluhan tahun silam hingga tahun 2021 ini, turun temurun beredar mitos bahwa pegawai negeri, pejabat pemerintah, TNI/Polri yang masuk ke Dusun Ngaglik, akan ketiban sial dan copot pula jabatannya.
Karena sudah terlanjur dipercaya, akhirnya banyak yang tidak berani masuk ke dusun Ngaglik. Termasuk bidan desa, enggan melayani langsung, sebelum maupun sesudah ibu melahirkan.
Sukarjan, tokoh masyarakat Dusun Ngaglik mempertanyakan ketimbang percaya mitos, kenapa tidak mengedepankan logika secara rasional. Ia beralasan sebagai umat beragama, mestinya memahami nasib, pangkat dan jabatan sudah digariskan Tuhan. Bukan ditentukan karena masuk Dusun Ngaglik.
“Segala sesuatu atas kehendak Allah SWT. Kalau cuma masuk Ngaglik saja, menjadikan pangkat dicopot, kan nggak mungkin, “ ujarnya.
Sukarjan menambahkan sudah banyak riwayat pegawai pemerintah menolak masuk Dusun Ngaglik. Ia mencontohkan bidan desa. Ibu melahirkan di desa lain, rutin dijenguk dan dilayani bidan. Tapi khusus ibu-ibu melahirkan di kampungnya, tidak mendapatkan pelayanan semacam itu.
“Kami juga ingin memperoleh pelayanan yang sama, masak akan begini terus sampai anak cucu kelak. Tolonglah, yang masuk akal, “ beber Sukarjan.
Begitupun saat ada proyek bantuan pemerintah, pegawai yang akan monitoring dan evaluasi, lebih memilih datang ke Balai Desa Kedungasem. Untuk cek lokasi, biasanya diwakilkan kepada perangkat desa.
“Pernah ada bantuan sumur. Pegawainya di balai desa, lalu kameranya dititipkan pak perangkat desa. Perangkat desa yang ngalahi datang ke sini, “ ucapnya blak-blakan.
Tak hanya aparat pemerintah, rasa takut masuk Dusun Ngaglik juga menghinggapi para pekerja seni dan pelaku usaha lain. Manakala berlangsung warga punya hajat di dalam dusun ini, tidak pernah ada group seni tayub maupun kethoprak yang berani tampil. Bahkan tukang penggergajian kayu sekalipun, ketika ada warga Dusun Ngaglik berniat memotong kayu, mereka meminta supaya kayu diangkut keluar dusun dulu.
“Saya sendiri mengalami mas. Kayu saya angkut keluar dusun. Kan akhirnya harus tambah anggaran untuk angkutan, tambah tenaga, tambah waktu. Jadi nggak hemat. Itu baru soal mau motong kayu lho, belum yang lain, “ keluh Sukarjan.
Perlakuan tidak adil yang diterima masyarakat Dusun Ngaglik pernah disampaikan kepada Bupati Rembang, Abdul Hafidz. Hafidz bahkan sempat berjanji akan datang ke Dusun Ngaglik bersama para pejabat, untuk mengkampanyekan bahwa Ngaglik tidak seseram yang dibayangkan. Tapi sayang, sampai sekarang rencana itu belum terlaksana.
“Waktu di Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kecamatan Sumber, pak Bupati janji begitu. Langsung saya sampaikan kepada masyarakat. Warga ya seneng, tapi nyatanya juga belum ada datang ke sini. Pak Bupati kan kiai, masak nggak berani, “ imbuhnya tersenyum.
Sukarjan ingin supaya mitos masuk Dusun Ngaglik ketiban sial, perlahan bisa musnah. Kalau terbelenggu mitos, ia khawatir dusunnya akan sulit maju.
“Yang sana-sana sudah berlarian, sini kok masih jalan di tempat. Kita juga pengin setara, “ tandasnya.
Dibalik rentetan kisah tidak mengenakkan itu, menurut Sukarjan terselip sisi positif. Sejak kecil sampai saat ini usia 42 tahun, ia tidak pernah mendengar ada warga Dusun Ngaglik kemalingan, karena diduga pelaku kejahatan juga takut masuk ke dalam kampungnya.
Bahkan Sukarjan menyebut Dusun Ngaglik seakan-akan seperti memperoleh dispensasi kriminal.
“Motor lupa ditaruh di luar rumah sampai pagi ya aman-aman saja. Sisi positifnya itu, dispensasi kriminal, karena maling takut masuk sini, “ bebernya.
Nah..bagaimana tanggapan pihak pemerintah ? Termasuk ada seorang Kepala KUA yang tetap nekat masuk Dusun Ngaglik, meski sudah diiingatkan mitos ketiban sial. Kelanjutan kisah dari Dusun Ngaglik ini bisa anda ikuti pada laporan berikutnya. (Musyafa Musa).