Lasem – Ada benda peninggalan Sunan Bonang saat menyebarkan agama Islam pada abad ke-XV yang rutin dijamas atau dicuci dengan air kembang, persis tiap perayaan Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah.
Nama peninggalan tersebut adalah Bende Becak. Bende berbentuk gong kecil, sedangkan Becak adalah nama seseorang.
Riwayat sejarah turun temurun, kala itu Sunan Bonang mengajak Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V untuk memeluk agama Islam. Namun Brawijaya menolak, dengan mengirimkan seorang utusan bernama Becak, untuk menyerahkan surat kepada Sunan Bonang. Becak tiba di Desa Bonang menjelang Maghrib, sebelum Hari Raya Idul Adha.
Setelah menyerahkan surat kepada Sunan Bonang, Becak istirahat di sekitar kediaman Sunan Bonang, sambil menyanyikan tembang-tembang Jawa. Suara nyanyiannya mengganggu Sunan Bonang dan santrinya yang sedang mengaji.
Saat Sunan Bonang menanyakan suara siapa, para santri menjawab suara Becak. Tapi Sunan Bonang menjawab suara Bende. Begitu santri mengecek, ternyata utusan Majapahit, Becak sudah tidak ada dan hanya ditemukan sebuah Bende atau gong kecil.
Sejak saat itu gong kecil tersebut dinamakan Bende Becak, yang selalu dijamas seusai sholat Idul Adha. Proses penjamasan diadakan di rumah juru kunci makam Sunan Bonang, Abdul Wachid, yang berdekatan dengan Makam dan Masjid Sunan Bonang.
“Dari dulu sampai sekarang Bende Becak selalu dijamas seusai sholat Idul Adha. Belum pernah tidak dijamas, “ kata Abdul Wachid.
Air bekas penjamasan kemudian menjadi rebutan masyarakat. Termasuk kain mori bekas pembungkus Bende Becak dan potongan bambu untuk tempat ketan kuning, yang menjadi ciri khas prosesi. Warga saling berdesak-desakan agar bisa memperoleh benda tersebut, karena dianggap mendatangkan berkah.
Juki Susanto, seorang warga Desa Soditan Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang mengaku hampir setiap tahun datang ke kegiatan penjamasan Bende Becak. Hal itu guna mengenang sekaligus menghormati perjuangan Sunan Bonang, dalam mensyi’arkan agama Islam.
“Ini setahun sekali, ya saya datang untuk memeriahkan. Ngajak rekan saya, tadi dapat ketan kuning sama air jamasan. Kalau ketan ya dimakan, kalau air kan sudah dido’akan tadi, mugo-mugo dikabulkan, “ ungkap Juki.
Hal senada diungkapkan Masfiatul Hasanah, warga Desa Wuwur Kecamatan Pancur. Meski sempat berdesak-desakan, namun menurutnya tidak masalah. Air yang diperoleh, ia gunakan untuk mencuci muka.
“Sangat ramai sekali tadi, masyaallah. Saya yang didepan berulang kali terdorong dari belakang, “ ujarnya.
Pihak Pemkab Rembang tak kuasa melarang kegiatan ini, meski wilayah Kabupaten Rembang masih berstatus zona merah Covid-19. Namun pengunjung yang datang wajib diukur suhu tubuhnya dan harus memakai masker. Tim Gugus Tugas tingkat kecamatan, serta instansi terkait dari Pemkab, juga ikut turun memantau.
Pelaksana Tugas Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kabupaten Rembang, Purwono mengakui prosesi tahun ini, memang tidak seramai tahun-tahun sebelumnya.
“Ini kan tradisi ya, jadi warga menghendaki tetap dilaksanakan, dengan menjalankan protokol kesehatan. Sebelum pandemi, biasanya lebih ramai. Kalau tahun ini kan memang nggak dipublikasi sebelumnya, tapi ya masih banyak yang datang, “ tutur Purwono.
Selama acara berlangsung, pihak panitia penjamasan berulang kali mengingatkan masyarakat untuk tidak terjerumus pada kemusyrikan. Warga boleh saja menggunakan air sisa penjamasan untuk mencuci muka atau langsung diminum, tapi semua keberkahan datangnya tetap dari Allah SWT.
“Mohon bapak bapak, ibu-ibu jangan sampai salah niat. Niatnya tetap kepada Allah SWT, “ kata pihak panitia melalui pengeras suara. (Musyafa Musa).