Rembang – Saat kali pertama mendengar informasi bahwa ada seorang wanita sendirian tinggal menetap di dalam hutan belantara, saya awalnya tidak percaya. Bagaimana ceritanya, apakah bisa bertahan hidup dan apa memang tidak takut dengan beragam gangguan. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu berada di luar logika saya.
Karena didorong rasa penasaran, saya pun ingin membuktikan secara langsung.
Lokasinya berada di dalam hutan perbatasan antara Kabupaten Rembang, Jawa Tengah dengan Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Dari akses jalan raya Sale – Jatirogo berjarak hampir 10 kilo meter.
Saya menyusuri lebatnya hutan wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kebonharjo, melintasi alur jalan yang mirip arena aff road, untuk bertemu sosok bernama Ibu Kartini, perempuan warga Kabupaten Rembang, yang namanya sama dengan pahlawan emansipasi wanita, RA. Kartini.
Berbekal petunjuk dari seorang kawan dan dua kali bertanya dengan petugas Polisi Hutan, kendaraan saya semula melaju lancar, menembus jalan berbatu dan kubangan air. Sempat sekali salah arah, kemudian saya putuskan kembali menuju jalan sebelumnya.
Setelah masuk perkebunan ketela yang merupakan perbatasan antara kawasan hutan dengan tanah pribadi warga, akhirnya saya bisa menemukan sebuah gubuk dan rumah panggung yang ditempati Ibu Kartini. Hadangan dua ekor anjing menggonggong terus mendekat, karena mengetahui orang asing datang.
Kartini, wanita berusia sekira 55 tahun ini tergopoh-gopoh menyambut saya dengan sangat ramah. Sebentar memperkenalkan diri sebagai seorang Jurnalis, tak berselang lama perbincangan pun mengalir.
Pertanyaan pertama yang saya lontarkan, bagaimana awal mula memilih tinggal menetap di hutan seorang diri ? Kartini mengisahkan sejak kecil sudah tersisih dari keluarga, sehingga dibesarkan oleh neneknya yang hidup miskin. Setelah berkeluarga dan memiliki 3 orang anak, suaminya meninggal dunia. Ia rela menjadi TKW di Malaysia, untuk menyambung hidup dan menyiapkan masa depan bagi buah hatinya. Kala itu ketiga anaknya diasuh oleh nenek mereka.
“Kadang ada yang menganggap, anak masih kecil-kecil kok ditinggal. Mungkin mereka nggak tahu. Saya lakukan semua ini demi anak-anak, “ ujarnya lirih.
Saat bekerja di Malaysia, Kartini mengalami kecelakaan lalu lintas, hingga menderita luka parah pada bagian kepala. Sepulang dari Malaysia ke kampung halaman, cobaan berat masih saja datang silih berganti. Termasuk saat ditawari tanah tengah hutan oleh seseorang, yang konon dikenal angker.
Dibilang bahwa daerah sekitarnya kelak akan menjadi proyek tanaman tebu pemerintah, sehingga diprediksi bakalan ramai. Ia tertarik membeli seharga Rp 16 Juta, dengan luas 1 hektar lebih, masih dalam bentuk rerimbunan semak belukar.
Setelah dibersihkan, Kartini mencoba bertani di lahan yang ternyata sangat subur. Mulai tanaman cabai, ketela, rambutan, jeruk, semua cocok.
Kali pertama Kartini mendirikan gubuk kecil, kemudian atas bantuan petugas Perhutani KPH Kebonharjo bisa menambah dengan rumah panggung, untuk tempat tidur. Setelah memutuskan menetap di lokasi itu, Kartini justru mampu bangkit dari keterpurukan masa lalunya yang menyedihkan.
10 tahun lebih berjalan, lahan di sekitar gubuknya tak banyak berubah. Jadilah ia satu-satunya yang menetap di tengah hutan sampai sekarang.
“Pendek kata saya ketipu juga. Saya kira lahan sekitar sini akan ramai, tapi ternyata nggak. Lihat kali pertama, dalam hati apa mungkin saya hidup di sini, soalnya grumbul banyak duri. Waktu itu kebetulan saya panen di sawah lumayan bagus, ada uang kira-kira Rp 10 Juta, untuk biaya pembersihan lahan, “ kenang Kartini.
Semula 3 anaknya juga ikut tinggal di tengah hutan. Seiring bergulirnya waktu, berkat kegigihan semangatnya, anak pertama laki-laki lulus SMK, bekerja di Jakarta. Sedangkan anak kedua dan ketiga perempuan berhasil lulus sarjana dari Universitas Indonesia (UI), juga bekerja di luar daerah.
Mereka adalah anak-anak yang sangat sayang dengan ibundanya. Sudah berulang kali mengajak Ibu Kartini untuk pindah, namun ditolak. Jangankan pindah, diajak jalan-jalan ke kota saja, Kartini enggan.
Kartini mengaku sudah kadung cinta dengan tempat tinggalnya sekarang, yang memberikan kedamaian dan ketenangan batin. Hal itu menurutnya sulit tergantikan.
“Kadang anak saya juga jengkel sama dirinya sendiri, mau membahagiakan orang tua kok ibunya nggak mau. Saya mungkin akan tetap tinggal di sini, “ imbuhnya.
Selama hidup sendirian di hutan, apakah tidak ada gangguan ? wanita murah senyum ini menegaskan kalau hantu, tidak pernah dilihatnya. Justru laki-laki iseng datang, memang pernah. Tapi pelaku memilih menjauh, saat dirinya mengacungkan pedang.
Gangguan lain, tentu ular berbisa. Sudah berulang kali menjumpai ular berbisa, bahkan masuk ke dalam kamarnya, sehingga terpaksa ia bunuh.
“Malam tidur, paginya sudah ada lungsungan ular utuh di samping saya. Berarti semalam saya tidur sama ular. Ular bandotan masuk kamar, terpaksa saya matikan. Pernah juga ular kobra masuk ke dapur, untungnya nggak sampai menyembut, sudah kabur. Kemudian malam-malam saya terbangun, hidung digigit kalajengking. Ya seperti itu mas, soalnya pas kondisi gelap, “ beber Kartini.
Gubuk dan rumah panggung milik Kartini, dulunya mengandalkan penerangan lampu teplok. Maklum di tengah hutan, tidak ada jaringan listrik. Tahu sang ibu memliki pendirian kuat tak mau pindah, anak-anak Kartini mengusahakan jaringan listrik tenaga surya. Kini kediaman Kartini sudah terang pada malam hari. Termasuk bisa charge HP dan menghidupkan mesin pompa air.
Soal kebutuhan sehari-hari manakala ada kekurangan, kebetulan ada warga yang biasa menggarap lahan persil Perhutani, mau membawakan barang dari dalam kampung. Tapi pada dasarnya Kartini sudah terbiasa makan seadanya, memanfaatkan beragam tanaman di lahannya sendiri.
Bagaimana untuk mengusir rasa jenuh ? Kartini menunjukkan sebuah radio di dalam kamarnya. Radio itu pula yang menjadi teman menuju peraduan, hingga terbangun saat pagi tiba.
Kartini menambahkan saat Lebaran, menjadi momen yang paling menyenangkan, karena anak dan cucunya semua berkumpul di gubuknya.
Ia sama sekali tidak pernah menutup-nutupi kehidupannya. Justru dari kisah perjuangan hidupnya, Kartini sering berpesan kepada anak-anaknya, untuk selalu meningkatkan tali persaudaraan. Satu sakit, semua harus merasakan. Dengan cara itu, Kartini ingin anak-anaknya saling membantu dan hidup bahagia.
“Anak-anak membentuk lingkaran, saling membantu dan jangan sampai terpecah, walau sampai akhir hidup. Aku nggak pengin mereka membalas jasa orang tua, dibelikan barang-barang mahal, disenengke, dibangunke apa. Ibu lebih senang, kalian terus rukun bergandengan tangan, “ pungkasnya.
Jam malam ini menunjukkan pukul 21.15 Wib, saya pamitan pulang, dengan rasa tidak tega menggelayuti, karena harus meninggalkan Ibu Kartini sendiri, berteman kegelapan malam.
Ya sudahlah, saya langkahkan kaki menuju tempat parkir kendaraan. Ibu Kartini mendekat dan tanpa terduga mengulurkan tangan, untuk salam komando layaknya anggota TNI. Salam komando yang saya rasa menularkan semangat keberanian dari seorang wanita tangguh. (Musyafa Musa).
Mantap !!! Ini harus menjadikan contoh untuk mencintai alam apa adanya dan kita harus saling gotong royong dlm menghadapi semua permasalahan !??????❤❤❤??
Ini alamatnya masuk jln mana mas kok kelihatanya menarik dan bikin penasaran.kl pas mudik ke sale tak main jln2 kermh ibu kartini.
Semoga ibu Kartini selalu sehat dannunur pjg..bisa jadi contoh buat wanita lain nya untuk bisa hidup mandiri dimai saja berada…kalo didalam hutan saja bisa mandiri .. kenapa Tidak…dgn yg dikota…
Semoga ada Kartini..Kartini lain yg lebih pemberani dan Sukses.. Aamiin.