Rembang – Jika ada pertanyaan siapa warga Kabupaten Rembang yang layak dijuluki Raja Tato ? Bisa jadi salah satunya adalah Maman Ribowo atau akrab dengan nama panggilan Mbah Man.
Pria berusia 60 an tahun yang tinggal di pinggir jalur Pantura Desa Pasar Banggi, Rembang ini hampir sekujur tubuhnya terdapat beragam jenis tato. Bahkan pada bagian dahinya juga ditato bacaan Basmallah dan Syahadat. Tato itu pula yang mengiringi kisah mudanya, saat masih lekat dengan maksiyat. Namun secuplik sejarah kelam tersebut, sudah lama ia tinggalkan, menuju jalur kehidupan yang lebih baik.
Mbah Man mengenang tato Basmallah ia buat, karena merasa sebagai orang Islam tidak pernah membaca Bismillah.
“Aku jare wong Islam tak nato Bismillah, dadi yen mangan, he iki lho tak dudingi bathukku, “ ujarnya.
Setelah mentato Basmallah, di suatu hari ia kalah main judi. Spontan berinisiatif menambah tato di dahinya lagi, dengan Syahadat. Entah sugesti dari mana atau faktor apa, tiba-tiba dirinya yang semula senang menenggak Miras dan main judi, belakangan menjadi malas.
“Saya minta tolong santri di pondoke Pak Muh, untuk nuliske Syahadat. Habis itu tak bawa ke tukang tato. Yang nato tak bilangi, jangan sampai salah, mengko nek salah tak blok bathukku. Ini saya nggak mengada-ada, betul. Habis tato yang terakhir itu, saya main males, ngombe (mabuk-red) juga males, karena langsung muntah, padahal sebelumnya nggak pernah seperti itu, “ bebernya.
Hingga akhirnya ia tergerak hati datang ke pondok pesantren Roudlotut Thalibin Leteh, Rembang. Di tempat itulah, Mbah Man sholat kali pertama, yakni sholat Isya’ dan memutuskan taubat pada malam hari raya Idul Adha. Kiai Syaroffudin atau Mbah Syarof, seorang pengasuh Ponpes Roudlotut Thalibin memiliki andil besar, ikut menyadarkannya dari pengaruh dunia hitam.
“Habis dari pondok, sampai rumah semua Miras saya kubur ke septic tank. Banyak yang Miras baceman atau olahan sendiri, ngeri pokoknya, wong dulu itu kalau minum nggak itungan, “ kata Mbah Man.
Soal tato di tangan, kaki bahkan dahi, pernah ia tanyakan kepada Kiai Kholil Bisri (Almarhum), karena khawatir wudhlu maupun ibadah sholatnya tidak sah. Sang kiai waktu itu sebatas berpesan yang penting jangan mengulangi lagi menyakiti tubuh.
“Mbah Kiai Kholil bilang anggap saja Pak Man lahir dalam kondisi seperti ini. Ada orang Pamotan tatonan mau pergi haji sowan ke daleme mbah Kholil, orangnya malah disuruh ke sini, biar mantep. Saya gak pernah risih dengan tato saya, karena saya taubat bukan karena tato saya, saya taubat karena Allah, “ tandasnya.
Keseriusan menuju jalan Allah, Mbah Man tunjukkan dengan membangun sebuah Mushola, berhimpitan dengan rumahnya. Semula ingin pergi haji, ketika itu biaya masih Rp 16 Jutaan per orang. Namun batal mendaftar, karena sebagian uang dipakai biaya berobat isterinya yang sakit tumor kandungan. Sisa uang berobat, kemudian digunakan untuk mendirikan mushola, setelah mendapatkan pesan berharga dari kiai.
“Saya sowan Mbah Kholil, nanya sisa uang habis berobat baiknya dipakai apa, Mbah yai menyarankan nandur-nandur opo ngono lho sing uwoh terus (nanam-nanam apa gitu yang berbuah terus-Red). Nggak langsung dirinci. Suatu hari Kiai Mahmudi Kudus, alhamdulilah mampir ke rumah saya. Saya tanya, nandur opo sing uwoh terus, dijawab lhah buat Mushola itu kalau dipakai sholat kan nggak pernah habis buahnya. Langsung saya jawab matur nuwun yi, saya akhirnya mantap buat Mushola, “ pungkas Mbah Man.
Mbah Man kini hidup sederhana di rumahnya Desa Pasar Banggi. Dengan membuka toko kecil-kecilan, guna membantu ekonomi keluarga. Baginya, jangan terlalu muluk-muluk menjalani hidup, namun tetaplah berusaha dan berdo’a. Ia yakin Allah SWT akan memberikan yang terbaik bagi umatnya. (Musyafa Musa).