Bupati Sebut Perputaran Uang Tembakau, Petani Ungkap Kendala Yang Dihadapi
Petani menyiram tanaman tembakau, belum lama ini. (Foto atas) Petani menyetor tembakau ke gudang PT. Sadana Arif Nusa, Desa Kemadu Kecamatan Sulang.
Petani menyiram tanaman tembakau, belum lama ini. (Foto atas) Petani menyetor tembakau ke gudang PT. Sadana Arif Nusa, Desa Kemadu Kecamatan Sulang.

Rembang – Tembakau menjelma menjadi tanaman yang sangat diandalkan para petani di Kabupaten Rembang, saat musim kemarau. Kalau dulu, tiap kemarau tiba banyak lahan kering dibiarkan bera (tidak tergarap), tetapi sekarang petani mempunyai alternatif tanaman, selain palawija.

Bupati Rembang, Abdul Hafidz mengakui sektor tembakau melalui sistem kemitraan dengan perusahaan PT. Sadana Arif Nusa sejak tahun 2011 lalu, menumbuhkan semangat baru bagi kalangan petani. Dari sisi ekonomi, jauh lebih menjanjikan ketimbang palawija maupun padi sekalipun.

Bahkan menurut informasi yang ia terima, ketika puncak masa panen, PT. Sadana Arif Nusa membayarkan uang rata-rata Rp 5 Milyar setiap hari kepada para petani. Menurutnya, sebuah angka yang sangat besar dan terbukti sudah mengangkat kesejahteraan masyarakat.

“Coba bayangkan uang yang digelontorkan Sadana per hari itu mencapai Rp 5 – 7 M setiap hari. Lha kalau selama 3 bulan misalnya, berapa uang yang bergulir diterima petani kita, “ ungkap Hafidz.

Kebutuhan Yang Diinginkan Petani

Petani tembakau di Desa Suntri, Kecamatan Gunem, Samino melontarkan sejumlah keluhan, terkait penanaman tembakau. Yang pertama, seputar kecukupan pupuk. Ia menganggap jatah pupuk masih kurang.

“Misalnya NPK hanya dapat jatah 1 sak, padahal butuhnya paling tidak 3 sak atau 1,5 kwintal. Saya kebetulan garap tembakau 0,5 Hektar, “ bebernya.

Sedangkan untuk mesin rajang dan genset, ia bersama 4 orang petani lainnya iuran, agar lebih ringan. Pada tahun 2013 lalu membeli barang tersebut dan mestinya tahun ini sudah waktunya pembaruan atau peremajaan. Kalau ada peluang bantuan dari pemerintah, ia berharap mendapatkan bantuan. Mengingat selama ini belum pernah menerima bantuan semacam itu. Bahkan traktor, ia beli sendiri seharga Rp 21 Juta.

“Genset dulu harganya Rp 1,4 Juta, sedangkan mesin rajang harganya Rp 6 Juta, dirombong orang 5. Saya iuran Rp 1,5 Juta waktu itu. Cuman kan sudah lama ini mas. Saya sendiri petani biasa, mau ngajukan bantuan, nggak tahu caranya mas, “ keluh Samino.

Terkait pengairan tanaman tembakau, Samino menceritakan selama ini menyedot air dari kawasan Gunung Buthak. Yang jadi masalah, ketika kemarau panjang, sumber air mengering.

“Jaraknya kira-kira 50 an Meter, dari sawah. Sejak bulan Agustus lalu, sumber air, menyusutnya banyak. Tapi ya sedikit-sedikit tetap ambil dari situ, “ ujarnya.

Samino menimpali alternatif yang bisa diterapkan adalah sumur bor. Ia memperkirakan setidaknya butuh anggaran Rp 10 Juta, untuk 1 titik sumur bor.

“Sekarang pakai mesin, ngebornya bisa sampai 60 meter. 1 Meternya kan ditarif Rp 100 ribu, jadi habis Rp 6 Juta. Sama beli peralatan ya habis Rp 10 Juta. Semoga saja ada kepedulian, untuk membantu kami, biar masalah air dapat terpenuhi. Kalau sumber air, mudah di sini, “ kata Samino. (Musyafa Musa).

News Reporter

Tinggalkan Balasan