Semakin Susah Mendapatkan Jasa Tukang Bangunan, Tanda-Tanda Apa Ini ?
Potret aktivitas buruh bangunan di Rembang.
Potret aktivitas buruh bangunan di Rembang.

Rembang – Belakangan ini masyarakat semakin merasakan betapa susahnya mencari jasa tukang bangunan. Bahkan sering kali menunggu berbulan-bulan atau bahkan tahunan, karena harus antre terlebih dahulu.

Fenomena tersebut tidak hanya dirasakan warga perkotaan, tetapi juga merambah ke pelosok pedesaan. Ibaratnya, tukang sekarang menjelma menjadi profesi yang langka.

Muharsono, seorang warga Desa Karasgede Kecamatan Lasem mengaku untuk mencari tukang, perlu antre lama sampai berbulan-bulan. Apalagi jika sudah fanatik dengan sosok tukang tertentu yang notabene terkenal, justru akan jauh lebih lama menunggu, karena job order garapan mereka sangat padat. Menurutnya, antara garapan dengan jumlah tukang, tidak lagi sebanding.

“Perekonomian masyarakat semakin meningkat, sedangkan jumlah tukang minim, ya seperti ini. Kalau mau mbangun atau renovasi rumah, harus daftar dulu. Dua atau tiga bulan kemudian, baru dapet, karena tukangnya ngerjain proyek di tempat lain dulu. Beda dengan dokter, mau berobat mudah. Datang, dilayani, “ kata Muharsono.

Muharsono menimpali di daerahnya jasa tukang per hari rata-rata dibayar Rp 100 ribu plus makanan ringan dan rokok, sedangkan pembantu tukang Rp 80 ribu.

Seorang tukang bangunan dari Dusun Balong Wetan Desa Kumendung, Rembang, Hadi Siswanto membeberkan untuk mengerjakan sebuah bangunan rumah, waktunya beragam. Tinggal menyesuaikan bentuk dan ukuran. Ia mencontohkan rumah ukuran 6 x 9 Meter sampai selesai, butuh waktu sekira 2 bulan.

Setelah itu, pindah lagi ke tempat lain. Saat ini saja, orang yang ingin mendapatkan jasanya, mesti menunggu sampai setengah tahun lebih.

“Kelompok saya ada 7-8 personel mas. Biasanya orang telefon saya, sudah longgar belum, ya tak kasih tahu apa adanya. Kalau mau sabar nunggu, ya monggo, “ terangnya.

Sementara itu, pemerhati masalah sosial, Sutejo mengamati anak-anak muda sekarang enggan berprofesi menjadi tukang kayu maupun tukang bangunan. Kerja keras dengan berpanas-panasan, seperti pantangan bagi mereka. Apalagi kalau sudah mengantongi gelar sarjana, menurutnya rasa gengsi cenderung bertambah besar.

“Masak lulus sarjana, jadi buruh atau tukang bangunan. Kalau pun ada yang mau, ya mungkin karena kepepet banget, “ ujarnya.

Sutejo menimpali mental generasi muda saat ini umumnya susah diajak kerja keras. Disamping faktor lain, peralatan tukang kayu belakangan ini harganya juga relatif cukup mahal.

“Anak-anak muda zaman now penginnya instan. Kerja yang ringan, tapi cepet dapat uang, “ imbuh pemilik Warung Sosial ini.

Menurutnya, perkembangan tekhnologi juga turut berpengaruh terhadap pergeseran di tengah masyarakat. Semisal banyak peluang bisnis online yang menghasilkan pundi-pundi rupiah, tanpa harus berpeluh keringat. Ia khawatir kedepan ada satu titik waktu, di mana orang akan semakin kesulitan mencari tukang. Kalau sudah seperti itu, apakah anda harus turun tangan mengerjakan sendiri ? (Musyafa Musa).

News Reporter

Tinggalkan Balasan