Lasem – Perjalanan Jelajah Islam kali ini mengungkap kisah kenapa Nyai Ageng Maloka, sosok perempuan pertama yang memimpin Kadipaten Lasem, berani memindahkan pusat pemerintahannya ? Lalu setelah pindah, difungsikan untuk apa pusat keraton yang lama ? Ikuti perjalanan penutup Jelajah Islam di bulan suci Ramadhan ini.
Nyai Ageng Maloka, merupakan anak Sunan Ampel yang menjadi isteri Adipati Lasem, Adipati Wiranegara. Saat Wiranegara meninggal dunia pada tahun 1479 Masehi, Nyai Ageng Maloka menggantikan posisi suaminya memimpin Lasem.
Ada langkah frontal yang diputuskan Nyai Ageng Maloka, yakni memindahkan pusat ibu kota kadipaten, dari wilayah Bonang-Binangun menuju Cologowok Desa Soditan atau lokasinya di sekitar depan Masjid Lasem sekarang.
Pemerhati sejarah dari Padepokan Sambua Lasem, Abdullah Hamid mengungkapkan pemindahan ibu kota kadipaten tersebut, karena pertimbangan efektivitas menjalankan roda pemerintahan. Nyai Ageng Maloka posisinya ingin lebih dekat dengan saudara-saudara suaminya yang banyak bermukim di Cologowok, untuk ikut membantu memajukan Lasem.
Meski pusat pemerintahan berada di Cologowok, namun Nyai Ageng Maloka memilih tinggal di daerah Caruban, Desa Gedongmulyo, Lasem. Bahkan ia membangun sebuah taman perdamaian yang sangat indah, bernama Taman Sitaresmi.
Dipilihnya Caruban yang terletak di pinggir pantai, tak lain supaya Nyai Ageng Maloka lebih mudah berkoordinasi dengan Santi Puspo yang kebetulan bermukim di tempat itu. Santi Puspo menjabat sebagai laksamana laut dan memiliki hubungan kerabat dengan suaminya, Adipati Wiranegara, sehingga antara Nyai Ageng Maloka dengan Santi Puspo sangat akrab, dalam mengelola Pelabuhan Kiringan Lasem yang memang sangat terkenal menjadi perlintasan para pedagang dari berbagai negara kala itu. Bahkan termasuk pelabuhan terbesar di pesisir pantai utara Jawa.
“Caruban dan Pelabuhan Kiringan Lasem kan dekat. Waktu itu menjadi pelabuhan yang sangat ramai, sekaligus pusat ekonomi. Jadi Santi Puspo ibaratnya seperti Syahbandar lah. Mengapa Nyai Ageng Maloka memilih tinggal di tempat itu, ya untuk memudahkan koordinasi untuk memantau pelabuhan. Tanpa harus meninggalkan pusat pemerintahannya di Cologowok. Jadi Nyai Ageng Maloka administratur negara yang mampu mengoptimalkan potensi bangsawan-bangsawan di Lasem, “ terangnya.
Lalu bekas keraton yang dulu pernah ditempati Nyai Ageng Maloka di Bonang-Binangun digunakan untuk apa, setelah pusat pemerintahan pindah ? Abdullah Hamid mengutip berdasarkan riwayat sejarah, Nyai Ageng Maloka menyerahkan tempat itu kepada adiknya, yang tak lain adalah Sunan Bonang, guna menyebarkan agama Islam. Apalagi jumlah santri Sunan Bonang semakin banyak, sehingga membutuhkan tempat lebih luas.
“Bayangkan berapa besarnya keraton, kemudian diserahkan kepada Sunan Bonang. Itu pengorbanan Nyai Ageng Maloka yang menjadi catatan sejarah. Mbah Maloka beri fasilitas, agar Islam terus berkembang. Sejumlah tokoh yang pernah saya dampingi saat berziarah di makam Sunan Bonang di Desa Bonang, mengibaratkan bahwa Sunan Bonang merupakan raja wali pada masanya, sehingga memiliki posisi srategis sebagai pusat komando nusantara, “ tandasnya.
Sementara Nyai Ageng Maloka sendiri sangat giat mensyi’arkan agama Islam, terutama di kalangan perempuan. Bahkan, sejumlah putri dari para wali, seperti putri Sunan Kudus dan Sunan Muria ikut berguru menimba ilmu kepada Nyai Ageng Maloka, hingga akhir hayatnya. Mereka dimakamkan di dekat pusara makam Nyai Ageng Maloka di daerah Caruban, Lasem.
Duet antara kakak beradik, Nyai Ageng Maloka dengan Sunan Bonang inilah yang membuat Islam semakin berkembang, khususnya di Kabupaten Rembang, dulu dan sekarang. (Musyafa Musa).