Sulang – Pondok Pesantren Al-Hamdulillah di Desa Kemadu, menjadi salah satu pondok pesantren tertua di Kecamatan Sulang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Pondok pesantren tersebut semula diasuh oleh simbah Kyai Ahmad Syahid. Setelah beliau wafat, siapa yang akhirnya meneruskan sebagai pengasuh pondok pesantren tersebut ? Ikuti perjalanan kami, dalam Jelajah Islam.
Pondok Pesantren Al-Hamdulillah berdiri pada tahun 1952 Masehi. Kala itu tidak ada papan nama yang menunjukkan sebuah pondok pesantren, karena sang pengasuh, KH. Ahmad Syahid tidak suka dengan sifat kemanggok atau sombong.
Kata Al-Hamdulillah merupakan julukan dari masyarakat, lantaran Kiai Ahmad Syahid sering berdzikir dengan lafal Al-Hamdulillah. Tiap kali bertemu seseorang, beliau juga biasa mengucapkan kata Al-Hamdulillah. Jadilah semenjak itu, pondok pesantren tenar dengan sebutan Ponpes Al-Hamdulillah.
Di pondok pesantren ini fokus pada materi shorof, hadits, nahwu, akhlak dan alfiyah. Namun secara garis besar, aktivitas para santri dibagi menjadi dua devisi, meliputi santri salaf terfokus pada pendidikan kitab kuning, kemudian santri pelajar (santri kholafi), selain mereka mendalami ilmu salaf, juga menimba ilmu pengetahuan umum. Ada pula insidentil santri thoriqoh, yang kebanyakan diikuti jemaah umum, rata-rata kaum lanjut usia, fokus pada masalah kerohanian spiritual. Waktu nyantri 10 hari, setahun dua kali, diisi dengan kholwat (menyepi) dan berpuasa, posisinya menetap di pondok pesantren.
Pada awalnya, Kyai Ahmad Syahid mempunyai isteri Hj. Shofiyah, tetapi tidak mempunyai anak. Setelah lama Hj. Shofiyah meninggal dunia, Kyai Ahmad Syahid mempersunting Rohmawati, yang merupakan santriwati di Ponpes Al-Hamdulillah.
Jumali, seorang santri di Pondok Pesantren Al-Hamdulillah mengungkapkan dari pernikahan Kyai Ahmad Syahid dengan Nyai Rohmawati, memiliki dua orang anak, masing-masing Muhammad Luthfi Robi’ Akbar dan Syafiqoh Zuhda Samiyyah Zainabiy.
Ketika simbah Kyai Ahmad Syahid wafat tanggal 03 September 2004 silam, kebetulan kondisi putera puteri beliau masih kecil, sehingga belum bisa mengasuh pondok pesantren. Sampai dengan bulan suci Ramadhan tahun 2019, Ponpes Al-Hamdulillah diasuh oleh Nyai Rohmawati Syahid, dengan dibantu sesepuh santri H. Mukhoiri atau KH. Abdulloh Karim, sekaligus menjadi dewan pertimbangan bagi ibu nyai.
Putera Kyai Ahmad Syahid, Muhammad Luthfi Robi’ Akbar yang sudah berusia 24 tahun, masih mondok di Pare, Kediri, Jawa Timur. Ada rencana, Gus Luthfi, demikian sapaan akrabnya, kembali ke Desa Kemadu, untuk melanjutkan tongkat estafet mengasuh pondok pesantren Al-Hamdulillah. Saat ini, ada 600 an santri/santriwati yang mondok di Ponpes Al-Hamdulillah. Tidak hanya dari berbagai daerah di pulau Jawa, tetapi juga ada yang berasal dari Sumatera, Riau dan Kalimantan.
“Sementara ini yang mengasuh Ponpes Ibu Nyai Rohmawati Syahid, dibantu H. Mukhoiri, selaku penasehat. Namun tahun 2019 ini, Gus Luthfi rencananya akan pulang ke Kemadu, “ tuturnya.
Jumali yang juga didaulat sebagai ketua panitia kegiatan pasanan di Pondok Pesantren Al-Hamdulillah membeberkan beragam aktivitas santri dan santriwati selama bulan suci Ramadhan. Pagi hari setelah sholat Subuh, menyimak Al-Qur’an 2 juz, kemudian siang hari sehabis Dzuhur dilanjutkan mengkaji kitab kifayatul awam, sebuah kitab berisi ajaran tauhid, ibaratnya menjadi bekal pondasi keimanan seseorang. Kitab itu pula yang dulu sering diajarkan oleh Kiai Ahmad Syahid Alm.
Selanjutnya pada malam hari, santri membedah kitab “mengingatkan orang-orang yang lupa”, lebih banyak berisi tentang akhlak kehidupan sehari-hari.
“Selain itu kita juga belajar tafsir. Yang jelas ngaji kitab setiap tahun berubah, tapi ada kitab-kitab tertentu yang kita lestarikan. Salah satunya kitab Kifayatul Awam, apalagi dulu sering diajarkan Mbah Syahid, “ terang Jumali.
Menurutnya, meski Kyai Ahmad Syahid sudah wafat, namun banyak ilmu dan piwulang yang tetap membekas di hati para santri, meski mereka sudah lulus sekalipun. Mbah Syahid sering mengajarkan akhlak yang baik, dalam bergaul di tengah masyarakat.
Semisal kalau berjalan, santri jangan menyeret kaki. Hal itu memiliki filosofi, santri harus tegas. Mbah Syahid juga sering menekankan, tidak boleh sombong, karena manusia pada dasarnya tidak layak bersikap seperti itu. Kemudian ajaran lain, sekecil apapun ilmu yang dimiliki, untuk selalu diamalkan.
“Santri nggak boleh ingah-ingih, harus tegas. Jangan bikin onar di tengah masyarakat, jaga sikap. Kalau punya ilmu, amalkanlah. Sedikit-sedikit, insyaallah manfaat dan barokah, “ imbuh santri dari Cangaan, Kecamatan Batangan, Kabupaten Pati ini.
Untuk mengenang jasa-jasa Kyai Ahmad Syahid dan Hj. Shofiyah dalam mensyi’arkan agama Islam di Desa Kemadu dan sekitarnya, tiap tahun diadakan haul. Haul Mbah Syahid berlangsung tiap tanggal 18 Rajab, sedangkan haul Mbah Shofiyah digelar tanggal 05 Syawal.
“Haul dipusatkan di lingkungan pondok pesantren. Kebetulan pusara makam Kyai Ahmad Syahid dan isterinya, Hj. Shofiyah berada di dalam lingkungan pondok, tepatnya di samping kiri pintu masuk Ponpes Alhamdulillah, “ pungkasnya. (Musyafa Musa).