Lasem – Kalau anda mendengar nama Ki Ageng Punggur, mungkin belum begitu mengenal. Tapi begitu disebutkan Raden Bagus Srimpet atau Mbah Srimpet, bisa jadi akan langsung teringat bahwa beliau dulu ada seorang Adipati Lasem dengan gelar Tejakusuma I. Nah, untuk menelusuri jejak sejarah Mbah Srimpet dan keunikan-keunikan yang menyertai, ikuti kami dalam Jelajah Islam.
Diberikan paraban atau panggilan nama Raden Bagus Srimpet oleh sang ibu, karena pada masa kecilnya kalau berjalan kaki dengan orang tua, sering berada di depan, sehingga dianggap nyrimpeti atau menghalangi.
Kemudian ada pula nama lain Ki Ageng Punggur, lantaran kerap bertapa atau menyepi di perbukitan Punggur. Menurut silsilah, Mbah Srimpet adalah anak dari Pangeran Santiwira. Santiwira sendiri kalau ditarik garis keturunan ke atas, sampai pada Santipuspa, kakak Sunan Kalijaga.
Mbah Srimpet dikenal sebagai sosok yang bijak dan cerdas. Ia menjadi menantu Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir. Mbah Srimpet kemudian diangkat menjadi Adipati Lasem bergelar Adipati Tejakusuma I pada tahun 1585 Masehi, yang kala itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajang.
Pusat pemerintahan Adipati Tejakusuma I berada di sekitar Alun-Alun Lasem sekarang. Berbeda dengan para pemimpin pendahulunya yang menjadikan pusat pemerintahan di daerah Bonang-Binangun, Puri Kriyan Desa Sumbergirang maupun Cologowok, Desa Soditan.
Sekira tahun 1588 Masehi, Adipati Tejakusuma I dibantu Mbah Sambu, mendirikan Masjid Jami’ Lasem. Seorang pemerhati sejarah di Lasem, Abdullah Hamid bercerita saat memimpin, konsep Mataraman diterapkan Adipati Tejakusuma I. Misalnya, konsep perpaduan pusat kota antara Masjid, keraton dan alun-alun dalam satu kawasan.
“Mbah Srimpet hidup pada masa kasultanan Pajang. Beliau punya ahli-ahli yang mampu menjalankan konsep tata kota pradja, kombinasi keraton, masjid dan alun-alun. Dan konsep itu masih kita rasakan sampai sekarang, “ terangnya.
Bukti-bukti tersebut memperkuat kehidupan agama Islam pada masa pemerintahan Adipati Tejakusuma I. Kalau menilik catatan sejarah, awal Islam di Lasem, ketika kepemimpinan Wirabadjra. Kemudian saat kepemimpinan Wiranegara, barulah agama Islam ditetapkan sebagai agama resmi keraton. Artinya Mbah Srimpet atau Adipati Tejakusuma I tinggal meneruskan penyebaran agama Islam.
“Jadi beliau Mbah Srimpet ini tinggal meneruskan, karena agama Islam sudah lebih dulu ditetapkan sebagai agama keraton, saat masa Adipati Wiranegara atau Mbah Brayut, “ beber Abdullah.
Diriwayatkan Adipati Tejakusuma I wafat tahun 1632 M, pada usia 77 tahun. Pusara makam beliau di belakang Masjid Jami Lasem. Yang unik dari makam ini, hanya dikelilingi pagar tembok. Tidak ada atapnya sama sekali.
Abdullah Hamid menimpali berdasarkan kisah-kisah dari para sesepuh zaman dahulu, pernah suatu saat makam dipasangi atap. Tanpa sebab yang jelas, tiba-tiba atap ludes terbakar. Akhirnya sampai sekarang, makam tidak lagi diberi atap penutup. Kebetulan saat ini, sedang proses pembangunan pendopo Tejokusuman, persis di samping makam Mbah Srimpet. Bangunan cukup tinggi. Atap pendopo sama sekali tidak mengenai atas makam Mbah Srimpet, karena khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk.
“Menjadi pantangan, karena pernah diberi atap malah terbakar. Keanehan lain, dulu ketika ada burung melintas di atas makam beliau, akan langsung terjatuh. Makamnya kuno dengan motif-motif yang kental pada masa itu, “ kisahnya.
Selain itu, ulama Kiai Hamid Baidhlowi pernah bercerita kedatangan tamu yang matanya hampir buta. Kiai Hamid Baidhlowi menyarankan untuk mengusapkan air dari dalam kijing makam Mbah Srimpet. Atas izin Allah SWT, orang tersebut bisa melihat lagi.
“Beberapa waktu lalu, pernah datang lagi seseorang dari Demak, masalahnya sama. Sakit mata nggak sembuh-sembuh. Oleh pengurus ta’mir disarankan mengambil air dari kijing Mbah Srimpet. Tentu harus tirakat dulu, riyadoh, baru mengusapkan air ke mata. Yang terpenting, do’anya harus sama Allah SWT. Air itu ibaratnya wasilah saja, “ pungkasnya. (Musyafa Musa).