Lasem – Bagaimana jika seorang kiai berhutang jawaban, ketika ditanya oleh umat, karena saat itu belum sanggup memberikan penjelasan secara gamblang. Janganlah malu mengatakan belum bisa, ketimbang langsung menjawab, tapi justru salah. Petuah ini saya dapatkan dari KH. Zaim Ahmad Ma’soem, pengasuh Pondok Pesantren Kauman, Desa Karangturi, Kecamatan Lasem. Seperti apa kisahnya ? ikuti dalam Jelajah Islam Spesial Bulan Ramadhan.
Tiap kali bertemu Gus Zaim, panggilan akrab Kiai Zaim Ahmad Ma’soem, selalu muncul dialog-dialog menyenangkan, dengan intonasi yang runut dan jelas. Apalagi ketika membahas seputar Islam, tersirat aura ketegasan dibalik kalimat demi kalimat yang beliau sampaikan, berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Namun Gus Zaim blak-blakan mengakui sering berhutang jawaban. Saat umat bertanya, ia belum bisa langsung menjawab. Pada bulan suci Ramadhan ini misalnya, tiap malam sehabis sholat tarawih berlangsung pengajian di pelataran pondok pesantren Kauman, Karangturi. Pengajian berisi kajian hadits, dengan konsep monolog dan dialog.
Umat yang datang sebagian berasal dari kalangan modin, pengasuh mushola, nadzir, ta’mir masjid maupun tokoh-tokoh yang biasa menjadi “jujugan” pertanyaan warga sekitar, menyangkut hukum-hukum Islam. Saat sesi dialog, muncul beragam pertanyaan. Gus Zaim menyatakan tidak perlu malu, apabila ia belum bisa menjawab saat itu juga, karena menyangkut dalil yang tidak mengandung kemungkinan makna lain (Qath’i). Gus Zaim menjanjikan jawaban akan disampaikan pada pengajian berikutnya, begitu data-data yang diperoleh sudah kuat. Dirinya tak mau gegabah menjawab, hanya karena merasa malu di depan umat.
“Kalau saya bisa menjawab, ya saat itu juga saya jawab. Tapi kalau belum bisa, saya berhutang. Sering hutang, karena manusia terbatas. Makanya saya nggak sepakat ketika ada pengajian siaran langsung di radio maupun TV. Ketika ada pertanyaan, mungkin ada rasa malu, sudah live mosok gak bisa jawab. Akhire jawabane ngawur, sering saya temukan di TV. Harapan saya kalau pengajian bisa lewat siaran ulang, agar ada screening dulu dan tidak memicu kesalahpahaman umat, “ tuturnya.
Saat Ramadhan tiba, geliat kepadatan aktivitas di Pondok Pesantren Kauman Lasem sangat terasa. Dimulai sehabis sholat Subuh, kemudian berlanjut sampai menjelang waktu Dzuhur. Setelah Dzuhur, diteruskan sampai mendekati Ashar. Selesai Ashar, diisi hingga waktu berbuka. Rutinitas pengajian kembali dilanjutkan, usai sholat tarawih. Ramadhan dianggap spesial, ketimbang bulan-bulan pada umumya.
Kegiatan harian sebelum Ramadhan, istilahnya sudah tutup buku atau tutup kitab per tanggal 25 Sya’ban atau 25 ruwah lalu. Saat tiba bulan suci Ramadhan, tidak hanya Al-Qur’an, tetapi pengajian umumnya difokuskan membedah berbagai kitab hadits dan kitab akhlak hasil karya alim ulama zaman dahulu.
“Waktunya dibagi dengan ustadz-ustadz lain. Ada kitab yang dibaca dan harus khatam malam 21 bulan Ramadhan. Saya sendiri Kebetulan mendapatkan jadwal mengasuh pengajian, sehabis Ashar dan sesudah tarawih. “ kata Gus Zaim. Uniknya, selama pengajian di bulan Ramadhan ini, tidak diberlakukan pengawasan ketat, seperti halnya hari biasa di luar Ramadhan.
“Kadang-kadang anak ngaji tidur, ya nggak kita obrak-obrak. Ramadhan niki sifate tabaruk, ngalap berkah. Turu wae ngibadah, kita sebatas beri pemahaman saja, misale ora turu, banjur nyimak lan paham, malah luwih apik. Dawak-dawakke pikirmu, dawak-dawakke rasamu, luwih gede ganjarane, “ terangnya.
Tidak hanya 230 santri yang selama ini bermukim, tetapi saat seperti sekarang, Pondok Pesantren Kauman Lasem juga didatangi santri kilatan dari luar Kabupaten Rembang. Semisal dari Wonosobo, kemudian ada pula dari Bojonegoro, Jawa Timur. Mereka ikut menginap, berbaur dengan para santri pondok pesantren. Tujuannya satu, ingin mengejar pahala di bulan mulia berlimpah berkah, Ramadhan. (Musyafa Musa