Rembang – Bagaimana tanggapan pihak Pemerintah Kabupaten Rembang ketika didesak untuk bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN), mengatur penyeragaman tarif pembuatan sertifikat tanah, agar tidak memicu kebingungan di tengah masyarakat.
Bupati Rembang, Abdul Hafidz menolak usulan tersebut, karena bukan ranah kewenangan Pemerintah Kabupaten. Kalau pihaknya mengatur, justru salah. Saat ini pemerintah pusat membebaskan biaya penerbitan sertifikat. Tapi untuk biaya pathok, pengukuran dan materai pemberkasan, menjadi tanggung jawab pemohon. Langkah terbaik, pemerintah desa membentuk panitia. Kemudian panitia menyusun biaya. Jika ada biaya di luar ketetapan panitia, menurutnya masuk kategori pungutan liar.
“Jadi saya serahkan kepada desa masing – masing untuk mengatur, sesuai kesepakatan. BPN pun tidak akan mencampuri soal itu. Makanya panitia desa yang berembug dengan pemohon, “ ujarnya.
Hafidz menambahkan bisa saja antara satu desa dengan desa lain berbeda tarif, karena pertimbangan kondisi geografis. Tidak mungkin tarifnya dituntut harus sama. Maka ia menyarankan supaya panitia desa memberikan sosialisasi secara gamblang dan transparan dalam penggunaan biaya hasil swadaya masyarakat.
Bupati mengingatkan target 60 ribu bidang tanah pada tahun ini, harus disukseskan bersama – sama. Tanpa dukungan banyak pihak, menurutnya akan sulit terwujud.
“Misalnya yang sini 150 ribu yang sana kok 300 ribu, bisa jadi karena kondisi geografisnya beda – beda. Tapi kalau soal materai dan pathok, biayanya nggak terpaut jauh. Saya nggak akan mengkondisikan harus sama, tapi yang penting transparan, “ imbuh Bupati.
Tahun 2019 ini, wilayah Kabupaten Rembang menjadi sasaran program Pendataan Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dari Badan Pertanahan Nasional. PTSL mencakup 65 desa, tersebar di 14 kecamatan yang ada di Kabupaten Rembang. (Musyafa Musa).