

Rembang – Potensi konflik antara nelayan pengguna jaring cothok dengan nelayan pancari rajungan di pantai utara Kabupaten Rembang, diwaspadai oleh Dinas Kelautan Dan Perikanan setempat.
Jaring cothok sudah lama dilarang pemerintah, karena bentuknya seperti pukat harimau. Nelayan nekat menggunakan alat terlarang ini, agar lebih mudah mendapatkan hasil tangkapan. Namun dalam operasionalnya, jaring cothok disinyalir merusak alat tangkap bobo yang dipasang oleh nelayan pencari rajungan. Piranti bobo biasa dibiarkan di dalam laut, kemudian pemiliknya pulang. Sehari kemudian, baru diambil lagi.
Kepala Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Rembang, Suparman mengakui saat ini bobo perangkap rajungan sudah menyebar ke mana – mana. Lantaran tidak ditunggu, sehingga rentan tersangkut atau terseret oleh alat tangkap lain.
“Jadi konflik di kalangan nelayan ini nggak melulu jaring cothok. Penempatan bobo juga memunculkan persoalan sendiri. Ketika nelayan mencari ikan di titik tertentu, mereka rata – rata nggak tahu jaringnya menyangkut perangkap rajungan, kemudian asal ditarik, “ bebernya.
Suparman menambahkan berdasarkan hasil pengecekan di lapangan, nelayan umumnya membeli bahan dari toko, kemudian membuat sendiri jaring cothok. Jaring tersebut dilengkapi semacam kantung yang bisa menggiring semua ikan, sehingga ukuran besar maupun kecilpun masuk ke dalam kantung.
Karena saat ini Pemerintah Kabupaten tidak mempunyai kewenangan di sektor kelautan, maka pihaknya akan bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, untuk melakukan pengawasan di kawasan perairan Kabupaten Rembang.
“Kalau mengacu Undang – Undang N0. 23 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Kabupaten nggak punya kewenangan lagi dalam hal kelautan. Ini ranah provinsi, jadi kami akan menggandeng Dinas Kelautan Dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, ikut melakukan pengawasan. Salah satunya ya alat tangkap terlarang. Operasi di laut sudah sering, cuman kan terbatas, “ imbuh Suparman.
Dihubungi terpisah, nelayan pencari rajungan di Desa Gegunung Wetan, Rembang, Kartono menjelaskan nelayan umumnya sudah memberikan tanda berupa tiang berbendera di permukaan air laut, agar nelayan lain mengetahui. Namun kalau jaring cothok beroperasi pada malam hari, tanda tersebut akan sulit terlihat.
“Ya tanda seperti itu, nelayan menyebutnya dengan nama anjir. Tiap perahu sudah siap 20 – 25 anjir. Memang kalau pasang perangkap rajungan ya ditinggal, nggak mungkin kami tungguin semaleman di tengah laut. Masalah sudah lama, nggak selesai – selesai. Mohon disikapi serius, jangan sampai bom waktu ini suatu saat meledak, “ ungkapnya.
Kartono berharap pemberantasan jaring terlarang kedepan bisa dioptimalkan. Penanganan perlu dilakukan secara komprehensif terus menerus. Selain sosialisasi dan penindakan, tetapi juga penggantian alat tangkap yang efektif dan pemberdayaan lingkungan pesisir. (Musyafa Musa).