Malang – Reporter R2B mengikuti studi banding ke desa wisata Pujon Kidul, Kabupaten Malang dan Probolinggo Jawa Timur, Jum’at – Sabtu (16 – 17/11). Lalu bagaimana awal mulanya mereka merintis, serta strategi apa untuk mengembangkan ?
Memasuki akses jalan menuju Desa Pujon Kidul, saat bus yang membawa rombongan wartawan dan sejumlah pejabat Pemerintah Kabupaten Rembang, harus dikawal oleh pemandu lokal, dengan mengendarai sepeda motor, karena kondisi jalan relatif sempit. Meski demikian, bus akhirnya bisa tiba di lokasi.
Asisten III Sekda Rembang, Noor Effendi yang ikut dalam rombongan mengungkapkan kedatangan ke Desa Wisata Pujon Kidul, karena merasa penasaran. Pemkab ingin mengetahui konsep pengembangan desa wisata, sekaligus bagaimana strategi pemerintah setempat melakukan percepatan kemajuan wisata.
“Kami ingin ngangsu kaweruh, apalagi Desa Pujon Kidul ini sudah cukup terkenal. Siapa tahu nantinya ada desa di Kabupaten Rembang akan mengembangkan model desa wisata seperti ini, “ ucap Noor.
Di Desa Wisata Pujon Kidul, semula mengawali wisata edukasi sekira tahun 2011 lalu. Biasanya mahasiswa datang ke kawasan itu, untuk melakukan penelitian di bidang peternakan dan pertanian. Kadang di sela – sela penelitian, pengunjung menginap di home stay milik masyarakat setempat. Embrio tersebut kemudian dikembangkan dengan melakukan pemetaan potensi.
Kepala Desa Pujon Kidul, Udi Hartoko menceritakan saat bertemu dengan warga, muncul usulan pengembangan wisata. Namun karena dana desa terbatas, akhirnya disepakati memanfaatkan pendapatan desa dan menggandeng kerja sama dengan pihak luar. Ketika awal memulai, sejumlah tokoh pemuda dilibatkan. Tanpa dibayarpun, mau mengkonsep dan mengeksekusi kegiatan.
Tahun 2016, dibangun semacam gardu pandang di lahan milik desa, mengunggulkan pemandangan alam pegunungan. Lama kelamaan, pengunjung kian ramai berdatangan. Setelah itu diperluas, sekarang lahan yang ditempati sudah mencapai 3 hektar, gabungan tanah milik desa dan warga setempat. Mereka menjual souvenir, jasa persewaan arena permainan hingga kuliner.
“Awalnya sich terjadi tarik ulur, bahkan gontok – gontokan antar pemuda. Tapi bisa diselesaikan, karena semangatnya untuk membangun desa. Kami libatkan masyarakat, lha pengelolaan wisata ini ditangani oleh BUMDes. Pemilik wahana di sini membayar pajak buat pemerintah daerah, sedangkan kontribusinya untuk pemasukan desa, bersifat sukarela. Semua kami atur dalam Peraturan Desa, “ bebernya.
Udi Hartoko menambahkan pihaknya memperoleh dana CSR dari Bank BNI, untuk membangun Kafe Sawah yang saat ini dikelola desa. Selama tahun 2017, Kafe Sawah membukukan omset Rp 5,3 Miliar.
Selain kafe, pendapatan parkir juga menjadi sektor pemasukan desa. Dari 6 unit usaha yang dikelola, hingga pertengahan tahun 2018 saja, BUMDes Pujon Kidul sudah menyumbang pendapatan desa sebesar Rp 681 Juta.
“Yang penting bangun manusianya dulu. Bangun kepercayaan, untuk apa saja pendapatan dari wisata. Warga bisa mengetahui melalui sistem online. Kita tambah infrastruktur, semua saling mendukung. Termasuk Dinas Pariwisata dan Pemkab Malang, bantu fasilitasi pelatihan maupun promosi terus menerus. Yang kurang hanya 1, perlu pelebaran jalan, “ imbuh Udi yang menjabat Kades 2 periode ini.
Untuk bisa masuk ke lokasi wahana wisata di Desa Pujon Kidul, setiap pengunjung hanya dipungut tarif Rp 8 ribu per orang. Pada hari biasa, wisatawan yang datang rata – rata 700 an orang. Jumlah pengunjung akan melonjak ketika akhir pekan. Dari pembukaan obyek wisata ini, sedikitnya sudah melibatkan 250 orang pekerja.
Setelah dari Desa Wisata Pujon Kidul, rombongan wartawan dan Pemkab Rembang juga datang ke wisata hutan bakau Bee Jay Bakau Resort (BJBR) Kota Probolinggo, Jawa Timur.
Kawasan ini hampir sama dengan hutan bakau Dusun Kaliuntu, Desa Pasar Banggi, Rembang. Namun bedanya, di sana selain terdapat jembatan yang membelah hutan bakau lebih panjang dan tertata, juga ada fasilitas rumah makan, serta tempat penginapan di dalam hutan bakau. Pengelolaan BJBR ditangani oleh pihak swasta. Uniknya dulu tempat seluas 89 hektar tersebut, sempat menjadi lautan sampah, kemudian berhasil disulap sebagai salah satu wisata ekologi mangrove terpadu terbaik di Indonesia seperti sekarang. (Musyafa Musa).