Mengintip Apa Saja Yang Beda Dari Pabrik Semen Rembang Dan Imbasnya Untuk Masyarakat
Posisi long belt conveyor dari atas perbukitan menuju pabrik semen PT. Semen Gresik Pabrik Rembang, mampu menghasilkan listrik untuk keperluan suplai bahan baku.
Posisi long belt conveyor dari atas perbukitan menuju pabrik semen PT. Semen Gresik Pabrik Rembang, mampu menghasilkan listrik untuk keperluan suplai bahan baku.

Bandung – Ada banyak hal yang membuat pabrik semen PT. Semen Gresik di Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang berbeda dengan pabrik semen pada umumnya, termasuk jika dibandingkan dengan “sang kakak kandung” yang lebih dulu berdiri di Tuban, Jawa Timur.

Kepala Departemen Pendukung Operasional PT. Semen Gresik Pabrik Rembang, Gatot Mardiyana saat gathering dengan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Rembang di Bandung, Jawa Barat, Selasa malam (25 September 2018) menyebutkan operasional Semen Gresik Pabrik Rembang menggunakan tekhnologi lebih canggih, meski di jajaran Semen Indonesia Group, usianya saat ini tergolong paling muda.

Gatot mengisahkan liku – liku dibalik menawarkan sistem yang berbeda tersebut kepada pihak direksi. Pertanyaan direksi sangat detail, karena dengan tekhnologi baru memakan biaya semakin mahal.

“Dari pak direksi pertanyaannya sangat banyak. Rinci sekali, seperti tesis. Masalahnya beda dengan pabrik di Tuban dan membawa konsekuensi biaya lebih tinggi, ” beber Gatot.

Gatot mengungkapkan pabrik semen di Kabupaten Rembang menggunakan sistem long belt conveyer untuk pengiriman bahan tambang ke pabrik, sehingga menghemat konsumsi listrik sampai 20 %. Dengan mekanisme semacam itu, menghemat konsumsi bahan bakar untuk alat berat, serta menekan jeda waktu dan kebutuhan personel.

“Posisi long belt conveyor kan dari atas lalu turun itu. Nah, kita jadikan tenaga kinetik yang menghasilkan listrik. Minimal untuk menggerakkan long belt conveyornya, “ terangnya.

Kemudian dilengkapi pula 5 stage preheater yang berfungsi menghemat konsumsi energi sampai 20 ribu ton batubara setiap tahun. Selain itu, pabrik semen memanfaatkan big filter technology yang mampu menurunkan emisi debu pada angka 30 mg/meter kubik.

“Kalau di Rembang 5 stage, sedangkan Tuban 4 stage. Yang emisi debu ini, sudah standar Eropa. Kalau di sini bicaranya kan antara 60 – 80 mg/meter kubik. Kemudian kami juga tetapkan vertical cement mill yang dapat menghemat konsumsi listrik sampai dengan 30 %. Kebanyakan pabrik semen masih pakai sistem horizontal, ” tuturnya.

Sejumlah perbedaan lain dalam pengelolaan lingkungan, pabrik semen di Rembang menggunakan water preservation and bozem, diyakini mampu menghemat air, melalui pemanfaatan resirkulasi air. Selanjutnya dilengkapi greenhouse gas reduction, bertujuan untuk mengurangi pemakaian batubara, BBM dan listrik, setara dengan 80 ribu ton emisi  CO2 per tahun.

“Pabrik semen di Rembang investasinya mahal. Saya yang menyiapkan sejak desain sampai operasional. Jadi kalau environmentnya nggak bagus, saya yang akan disalahkan. Alhamdulilah, pemilihan tekhnologi terpilih ramah lingkungan, pabrik semen di Rembang dapat beroperasi dengan baik dan semoga memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, ” tandas Gatot.

Menurutnya, dengan kelancaran pabrik, diharapkan dana corporate sosial responsibility (CSR) yang diterima masyarakat, juga akan ikut terdongkrak. Tahun 2014, dana CSR digelontorkan mencapai Rp 7 Miliar, kemudian 2015 naik menjadi Rp 10,5 Miliar, 2016 melambung hingga Rp 23,8 Miliar dan selama tahun 2017 pada kisaran Rp 17 Miliar. (Musyafa Musa).

News Reporter

Tinggalkan Balasan