Dispensasi Anak Menikah Memprihatinkan, Ingin Tularkan Semangat Yes I Do
Aliansi yang menjalankan program Yes I Do.
Aliansi yang menjalankan program Yes I Do. (gambar atas), Mohammad Muadzom, Koordinator Kegiatan Yes I Do Rembang.

Rembang – Pencegahan pernikahan anak di Kabupaten Rembang sering menghadapi kendala munculnya kepercayaan, ketika anak perempuan sudah haid, maka layak untuk dinikahkan. Meski sebenarnya mereka belum cukup umur atau masih dibawah usia 18 tahun. Menjadi beresiko, apabila dikaitkan dengan kesehatan reproduksi. Seorang anak akan rawan terjangkit penyakit, jika dipaksakan menikah.

Hal itu dibeberkan Mohammad Muadzom, koordinator kegiatan Aliansi Yes I Do Rembang, yang aktif bergerak pada masalah pencegahan perkawinan anak, sejak tahun 2016 lalu. Program ini dibiayai Kementerian Luar Negeri Belanda, untuk Kabupaten Sukabumi – Jawa Barat, Kabupaten Rembang – Jawa Tengah dan Lombok Barat – NTB.

Muadzom mengakui fenomena tersebut membuat pihaknya harus lebih intens bekerja sama dengan masyarakat di tingkat desa. Salah satunya mendorong Komisi Perlindungan Anak Desa (KPAD) untuk mengawal. Di desa – desa binaan program Yes I Do, pengurus KPAD ikut memberikan pendampingan kepada anak – anak yang rentan menikah. Caranya dengan mencarikan beasiswa di sekolah – sekolah menengah atas, sehingga anak mau melanjutkan pendidikan dan menunda waktu pernikahan.

“Jadi di desa sudah memetakan siapa saja anak yang rentan menikah. Di KPAD Desa Woro, mengadvokasi 10 anak. Mereka bisa masuk ke dua sekolah, jadi biayanya digratiskan. Kami diskusi dengan sejumlah ulama, alasan menghindari zina sering melatarbelakangi kenapa anak cepat dinikahkan. Pendidikan termasuk salah satu solusi untuk menangkal, “ jelasnya.

Muadzom menambahkan program Yes I Do saat ini menyasar Desa Mojosari dan Desa Menoro di Kecamatan Sedan, kemudian Desa Woro dan Desa Ngasinan Kecamatan Kragan. Ada sejumlah organisasi yang melaksanakan program Yes I Do, meliputi Lembaga Perlindungan Anak Rembang (LPAR), Aliansi Remaja Independen (ARI) Jateng, PKBI Rembang, dan Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil (Pupuk) terpusat di Bandung, Jawa Barat. Masing – masing memiliki peran yang berbeda. LPAR sendiri lebih fokus menggarap bagaimana mengubah pola pikir masyarakat, sehingga mampu mencegah perkawinan anak. Setelah program berjalan, belakangan angka pernikahan anak di desa tersebut semakin menurun.

“Outputnya bagaimana KPAD menggagalkan perkawinan anak. Undang – Undang Perkawinan usia minimal 16 tahun, sedangkan kalau Undang – Undang Perlindungan Anak, yang disebut anak kan 18 tahun kebawah. Meski belum klop, kita fokus saja mencari agen – agen perubahan, bagaimana mereka melakukan kampanye, sehingga kalau ingin menikah ya setelah usia 18 tahun, “ imbuhnya.

Selama tahun 2017 lalu, angka sidang dispensasi di Pengadilan Agama Kabupaten Rembang, karena anak belum cukup umur ingin menikah, jumlahnya mencapai 56 anak. Rata – rata karena sudah hamil.

Data tersebut, menurutnya cukup memprihatinkan. Maka kedepan program Yes I Do ingin semakin digaungkan, agar semangatnya dapat menular ke desa lain, bersama – sama menangkal perkawinan anak. (MJ – 81).

News Reporter

Tinggalkan Balasan